19. Apa Kau Rekan Auristella?!

164 56 26
                                    

"Jujur saja padaku, Hanya. Kau punya hubungan dengan Auristella, kan? Atau jangan-jangan kau ini anak buahnya."

Hanya menatapku tidak percaya. "Hah?! Tuduhan macam apa itu?! Berobat sana!"

Bagaimana aku tidak berpikir ke sana?? Di saat kami ber-9 menerima surat cinta dari si psiko Auristella, kenapa cuma Hanya yang tidak mendapatkannya?

"Tunggu, Alsenon. Jangan terburu-buru menyimpulkannya." Cielo menegurku. "Pasti ada alasan di balik Hanya tidak diberi surat oleh Auristella. Mungkin dia lupa."

"Kalau kau ingin membela Hanya, tolong beri advokasi yang niat..." Noura manyun.

"Begini saja. Katakan alibimu—"

Aku terdiam. Saat Gracia didorong dari rooftop, Hanya berada di kelas. Bahkan dia yang menemukan mayat Chausila. Apalagi di waktu kematian Buk Ardena, Hanya bersama kami sepanjang hari.

Apa benar tidak dapatnya Hanya surat teror adalah murni kesalahan Auristella?

Mengingat dia membunuh Buk Ardena yang juga sama seperti Hanya—tidak memiliki surat berdarah 'kemarin hidup, hari ini tiada—bisa jadi ini kesalahan keduanya. Atau Auri menyiapkan hal lain?

Aduh, puyeng anjir! Aku bukan detektif!

"Baiklah, aku minta maaf soal itu. Lagi pula kita belum tahu, Auri itu solo atau duet sama seseorang. Jadi wajar kita yang buntu petunjuk ini menerka-nerka."

Aku memang sudah tahu jika Auri itu seorang cewek. Tapi ada yang kurang...

"Sebenarnya kita punya petunjuk yang tidak kita ketahui," balas Hanya, masih sebal kutuduh sekutu Auristella.

"Oh, ya? Apa itu?" Mimosa bertanya.

Hanya menunjukku. "Kau disuntik oleh Auri, kan? Walau sesaat, kau pasti bisa merasakan bagaimana tekstur kulitnya."

Ini dia yang kurang. Tentang jumlah Auri seperti yang kukatakan tadi, apa dia sendirian atau bersama seseorang.

Aku memutuskan menggeleng. "Aku tidak ingat. Tangannya cepat sekali."

"Mau kubantu memulihkan ingatanmu? Ada satu cara!" Hanya tersenyum bocah, mengeluarkan tongkat kasti. "Metode kejutan! Niscaya kau pasti mengingatnya."

"Berhasil sih, tapi aku mati setelahnya."

Hmm. Aku mengelus dagu, berusaha untuk kembali ke momen leherku disuntik Auri. Apa dia memakai sarung tangan lateks? Kurasa tidak karena aku tak mendengar suara decitan. Aku harus mengingatnya...

"Kau harus tunggu giliranmu, Alsenon."

Aku ingat sekarang. Dia menusuk dalam leherku dengan suntik hingga aku dapat merasakan—lima detik_teksur tangannya. Halus dan mulus. Tadinya kupikir yang menusukku orangnya berbeda, rupanya tidak. Mereka orang yang sama!

Aku berhenti merem. "Dia perempuan dan dia melakukan semuanya sendirian."

"E-eh? Apa kau yakin?" Agaknya Serena tidak percaya, pelaku yang meneror kami dan membunuh Gracia, Sila, serta Buk Ardena adalah seorang gadis SMA.

"Iya. Aku yakin untuk yang satu ini."

"Kalau begitu kita hampir dekat dengan Auristella." Abigail mengatupkan rahang. "Kita hanya perlu mencari tahu siapa yang absen saat kematian Buk Ardena."

"Bagaimana ini?" Aga berkata pelan.

Kami menoleh kepadanya. "Kenapa?"

"Ada lima orang absen di hari itu."

*

Sepulang sekolah, otakku semakin berat dibebani oleh Auri. Aku membesarkan hati Aga dan menyemangati yang lain, setidaknya cuman lima murid yang perlu kami selidiki. Tapi terus terang, aku tidak yakin terhadap bujukanku sendiri.

Maksudku, bagaimana selagi kami tengah menginvestigasi satu per satu lima murid absen itu, Auristella membunuh orang lagi? Kecuali jika kami hoki, capcipcup, tada! Kami menebak murid yang benar.

Mana mungkin keajaiban seperti itu muncul di realita. Berpikir logis lah, Sen.

Aku harus berdiskusi dengan Hanya—karena anak itu rasional. Dia tadi mengchatku ada rapat di ruang OSIS.

"Apaan tuh?" Alisku bertaut sesampainya di depan pintu OSIS. Asap tipis keluar dari celah pintu. Kebakaran?! Astaga! Jangan-jangan Hanya masih di dalam.

"HANYA! Apa kau di sana?! Jawab aku, Annavaran!" Aku mengedor-ngedor daun pintu. Percuma saja. Pintunya terkunci.

Aku melangkah mundur, melirik samping kiri samping kanan. Yosh, tak ada orang.

BRAK! Pintu itu rusak dan terpelanting setelah kutendang. Langsung saja kututup area hidung dan mulut. Ruangan tersebut sudah dipenuhi oleh asap. Di mana asal apinya? Manikku bermain ke sekitar.

Lalu, ya ampun... Aku memeluk tubuh sendiri, menggigil. Pendinginnya menyala? Apa Hanya yang mengaktifkannya?

Tidak sulit untuk menemukan Hanya. Dia berbaring di sofa, terlelap. Mak oi! Emot jengkel memenuhi wajahku. Di saat krusial begini, bisa-bisanya dia tidur?!

"Bangun woi.. Ukh." Entah kenapa lambat laun staminaku habis. Apa karena asap ini? Aku tak melihat api di mana pun...

Kepalaku tertoleh ke dupa di atas meja. Benda itulah yang mengeluarkan asap sialan ini. M-masa sih bau aromaterapi bisa sesesak dan sepekat ini? Pasti bahannya telah ditukar. Tapi siapa?!

Gawat. Mataku mulai berkunang-kunang. Ditambah udara yang dingin berkat AC. Aku tidak bisa... bertahan lebih lama...

Tap! Siluet seseorang berdiri di depanku. Sudah kuduga, ada yang mengubah isi dupa. Aku berani bertaruh dia Auri!

Tanganku terkepal. "Auri... Brengsek kau."

"Berani-beraninya kau mengangguku." Dia menatapku nyalang plus dingin. "Aku pasti akan membunuhmu, Alsenon. Aku janji."



[END] Auristella is DeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang