8.Rahmi Safira

20 3 1
                                    

Bandung,2 Mei 2015

Suara tangis bayi terdengar di salah satu kamar bersalin. Ada juga tangis bahagia di kamar tersebut,pelukan hangat pria memeluk sang bayi. Ibu dari bayi tersebut tersenyum mendengar bayinya selamat dan aman. Dan bayi tersebut diberi nama Rahmi Safira.

"Jadi anak yang baik ya,Rahmi" ucap ibunda Rahmi

[Rahmi menginjak usia 4 tahun]

Di umurnya yang masih kecil Rahmi sendiri sudah menunjukan kepintarannya. Ia sudah bisa membaca,menulis dan berhitung dengan lancar. Rahmi seringkali membaca buku buku yang diberikan bibinya. Dan karena hal tersebut ia menjadi dekat kepada bibinya.

"Bibi,gendong ade" ucap Rahmi sembari menjulurkan kedua tangannya

Bibinya menyayangi Rahmi selayaknya anaknya sendiri karena dirinya tidak menikah. Terkadang bibinya mengajak Rahmi berjalan jalan menyusuri sawah. Dia ingin mengajarkan Rahmi betapa luasnya dunia. Sedangkan ibunda Rahmi berpikir hal tersebut membuang buang waktu anaknya.

Ketika berumur 5 tahun Rahmi sudah menginjak kelas 1 SD. Dengan les les yang ia hadapi,jadwal padatnya untuk belajar dan les. Terkadang ia iri kepada mereka yang masih tertawa melihat anak anak lainnya bermain di luar. Rahmi sendiri dibohongi oleh ibundanya dengan mengatakan mereka yang diluar adalah anak yang buang oleh orang tuanya.

"Mereka dibuang? Lalu mengapa mereka tertawa,sedangkan aku yang di Rumah sulit sekali untuk tertawa" bisik Hati Rahmi yang membatin dengan keadaannya

Kehidupannya tersebut membawanya menjadi peringkat pertama di kelasnya 6 tahun berturut turut dan menjadi juara tingkat provinsi bidang matematika. Dengan apresiasi orang tuanya yang dahulu sangat ia tunggu hingga ia rasa itu adalah hal hambar. Tapi bagaimana juga Rahmi merasakan bahwa itu adalah bentuk kasih sayang ibunya.

[Rahmi menginjak SMP dengan segala prestasinya]

"Kamu tuh yang murid pintar bukan sih?" Kata salah satu perempuan yang sekelas dengan Rahmi

Rahmi hanya terdiam bingung dengan jawabannya. Akhirnya ia hanya mengangguk dengan mengatakan,"mungkin iya?".

Kehidupannya di SMP tidak jauh berbeda,hanya saja Rahmi sedikit kebebasan dari les. Kini saat akhir minggu menjadi hari liburnya. Di waktu libur tersebut ia isi dengan bertemu bibi nya yang rumahnya cukup jauh. Menaiki kereta api bersama ayahnya menuju bibinya setiap akhir minggu.

"Bibi,ayo main atau kita ngapain gitu?" Ucap Rahmi dengan begitu antusias

Bibinya tersenyum melihat "anaknya" tiba di Rumahnya setiap minggu. Bibinya mengajarkan banyak hal tentang hal yang tak bisa ia dapat hanya dengan membaca buku les. Hingga Rahmi sadar akan adanya rasa sesak di hatinya jauh terasa lebih baik.

"Pengalaman adalah yang utama,pengetahuan itu hanya nomor sekian dalam keadaan nyata" ucap bibinya

Rahmi tersenyum mendengar hal tersebut. Tetapi hal hal dan hari hari indah itu berlangsung begitu saja. Hari hari yang ia pikir membosankan itu kembali setelah penurunan nilainya dalan rapotnya. Tekanan begitu besar datang dari ibunda dan ayahnya.

"Kamu kenapa Rahmi? Kok ini nilainya bisa turun sih ah?! Kayaknya kamu tuh emang harus les lagi kayak dulu ya!" Ucap Ibunda Rahmi dengan tegas akibat nilainya yang menurun.

Hal tersebut membuat ia menjadi orang yang cukup pemurung,padahal ada sosok ceria di wajahnya tersebut.  Lembut kasih sayang dari bibinya justru bentuk cinta yang ia rasa benar benar nyata ada di hidupnya. Selama SMP akhirnya ia tidak merasakan apa itu cinta monyet antara laki laki dan perempuan. Yang ia rasakan hanyalah aroma buku yang melekat dengan matanya yang sembab akibat menangis setiap malam.

"Halo,kamu Rahmi kan? Kenalin aku Mikha,sesekali kita ke kantin bareng yuk? Atau kita makan bekal bareng" ucap perempuan yang kini adalah satu satunya teman miliknya.

Dari Mikha lah dia belajar bersosial dan mulai kembali mengenal arti hidup di luar rumah. Hingga terdengar rumor seorang anak yang membunuh ibunya sendiri dari kelas lain. Tentu saja hal tersebut membuat orang tua Rahmi cukup was was sehingga pengawasannya menjadi lebih ketat. Sesekali ia dijemput dengan mobil dan melihat anak anak di jalanan bermain serta bertarung entah karena apa.

"Aku yang gila atau bagaimana? Mengapa aku iri dengan kalian yang tidak terkekang dengan orang tua,atau aku yang lehernya terikat dengan perintah orang tua layaknya hewan peliharaan dengan rantai di lehernya?" Bisik hatinya

"Kenapa hanya kekerasan fisik yang dianggap penganiayaan dalam keluarga?" Hatinya membatin

Hal tersebut berjalan tanpa perlawanan hingga ia selesai SMP.

[Rahmi menginjak SMA]

Disana ia mulai berkomunikasi banyak dengan laki laki terutama dengan Bagaskara. Rumahnya yang searah membuatnya sering bertemu. Obrolan yang ia bicarakan entah mengapa membekas di hatinya. Hingga tiba di waktu pengumuman peringkat sekolah.

"Aku akan kembali terkurung? Tak ada tempat pulang bukan? Bahkan kini bibi sudah cukup kronis" Bisik hati Rahmi yang meringis membatin.

Bagaskara yang ada disana justru kebingungan dengan keadaan yang dihadapi Rahmi. Rahmi tersenyum tipis mencoba menenangkan diri dan tertidur di kelas untuk pertama kalinya. Di tidurnya ia melihat betapa malangnya nasib dirinya sejak dahulu.

"Mi,bangun udh mau pulang" ucap Bagaskara
"Oh,makasih" balasnya singkat

Bagaskara tidak begitu mengerti keadaannya tapi ia yakin bahwa suatu saat dia akan mengembalikan sosok ceria Rahmi.

"Dasar anak bodoh,udh SMA pasti mulai kenal cowo jadi ga fokus belajar kan hah?! Ohh pasti cowo kemarin kan yang jemput kamu kesini kan! Nanti ibu yang marahin kalo dia ngeganggu kamu belajar!" Ucap ibunda Rahmi yang begitu marah melihat penurunan nilai anaknya.

Rahmi hanya bisa menangis mendengar ucapan ibunya sendiri.

"Maaf Bagas,kayaknya untuk sementara waktu aku harus sedikit asing dengan kalian(teman sekelas)"

Ini bukanlah perihal sederhana. Aku ini bukanlah orang bodoh. Hanya saja,ini bukan sekedar belajar dan membaca sehingga kurasa ini tidaklah sesederhana itu. Maafkan aku,semua.

FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang