Biarkan Mengalir

3 1 0
                                    


"Apa saya salah, Bu?" tanya seorang teman, yang baru saja menelepon, bercerita bahwa ia tersinggung sekali atas sikap seseorang yang menurutnya sangat tidak sopan dan tidak menjaga perasaan orang lain.

Saya tidak yakin harus menjawab seperti apa. Karena kalau mendengar cerita lengkapnya, sepertinya sikap seseorang tersebut sama sekali tidak ada yang salah. Menurut saya, itu sih.

"Kalau Ibu ada di posisi saya, bagaimana?" tanyanya lagi.

"Saya sih, bodo amat," jawab saya.

Saya ini dibesarkan oleh kesendirian. Meskipun tentu ada keluarga--ayah, ibu, kakak dan adik-adik, tapi saya cenderung dibiarkan sendiri, bukan sebuah kesengajaan, tapi keadaan yang mengharuskan demikian (ayah yang bekerja diluar kota, ibu yang sibuk mengurus adik-adik, anggota keluarga lain pun sibuk dengan urusan masing-masing).

Jadi, saya terbiasa mengurus diri sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada sikap orang lain, mengambil keputusan tanpa mempedulikan apa yang dikatakan orang lain, kecuali ibu saya (dia lah satu-satunya orang yang nasihatnya selalu saya dengar). Jarang sekali saya tersinggung atas sikap orang lain, bahkan cenderung 'bodo amat'. Apalagi setelah ibu wafat saat saya berusia lima belas tahun, saya benar-benar sendiri, tinggal dengan nenek yang sudah sepuh, sementara kakak dan adik-adik tinggal bersama saudara ayah.

Akan tetapi saya juga tidak bisa menilai ketersinggungan teman yang baru saja menelepon tersebut salah atau tidak, karena saya tidak berada di posisi beliau, tidak ada di tempat/situasi di mana beliau berada. Dan soal latar belakang keluarga, mungkin saja, beliau dibesarkan di antara keluarga yang selalu bersama-sama, saling menemani dan saling menjaga perasaan masing-masing, berbeda dengan saya.

"Jadi, bagaimana, Bu?" tanyanya lagi lagi setelah bicara panjang lebar. "Wajar, kan kalau saya marah?"

"Iya, boleh." Saya menjawab. "Silahkan, kalau Ibu merasa itu tidak sopan, Ibu berhak tersinggung atau marah."

"Boleh disampaikan ketersinggungan saya, kan?"

"Tentu boleh."

Mengapa saya berkata seperti itu? Karena saya percaya bahwa apa yang beliau rasakan nyata adanya. Dan itu harus diterima, baik itu oleh orang-orang terdekatnya, yang lebih penting, oleh dirinya sendiri.

Penting bagi setiap orang untuk menerima keadaannya sendiri, apa adanya. Termasuk soal perasaan. Jika dia marah, ya marah saja. Jika dia bersedih, ya terima saja sedihnya. Jangan disangkal sedemikian rupa.

Kalau kita belajar ilmu Tajwid, ada sebuah sifat huruf yang dinamakan sifat Rakhawah, yang artinya mengalirnya suara ketika membunyikan suatu huruf disebabkan karena lemahnya huruf tersebut bergantung pada makhraj. Jumlah huruf yang memiliki sifat Rakhawah adalah 16 huruf jika dihitung alif. Beberapa di antaranya adalah huruf alif, tsa, ha, kha, dan ya.

Saat membunyikan huruf Rakhawah, suara tidak boleh tertahan, harus keluar secara sempurna. Demikian pula, ketika huruf-huruf Rakhawah tersebut dalam keadaan bersukun atau mati, suara dari huruf-huruf tersebut tetap keluar secara sempurna dan tidak terhambat.

Nah, seperti halnya huruf-huruf rakhawah yang memiliki hak untuk dialirkan, begitu juga dengan perasaan manusia, memiliki hak untuk dialirkan, tidak boleh terhambat, dan jangan dibiarkan tersumbat. Karena bisa buruk akibatnya, baik untuk orang lain, terlebih untuk dirinya sendiri.

Komunikasi adalah salah satu sarana memenuhi hak perasaan tersebut. Bagaimana cara komunikasi yang baik, sudah banyak dibahas oleh para ahli. Sarana lainnya bisa juga dengan menulis. Menulis cerita pendek, menulis lagu atau puisi. Tergantung yang mana yang lebih nyaman/mudah dilakukan.

Sarana-sarana tersebut adalah cara untuk memenuhi hak diri (yang memiliki perasaan dan emosi yang nyata benar adanya), bukan untuk memperoleh validasi dari pihak lain.

Jangan pernah berharap sesuatu dari orang lain, meskipun itu orang terdekat kita. Karena belum tentu mereka bisa mengerti dan menerima. Yang paling penting adalah, pengertian dan penerimaan oleh diri kita sendiri. Bahwa, inilah kita yang sebenar-benarnya. Sangat penting untuk bersikap jujur tentang keadaan kita sendiri.

"Sulit sekali ya, untuk tetap menjaga kewarasan itu...," ucap sang teman di akhir perbincangan kami.

Ya, benar. Saya mengalami sendiri. Begitu sulitnya untuk tetap sadar, di antara maya dan realita yang batasnya semakin pudar. Di antara idealisme dan pragmatisme yang semakin sulit ditemukan perbedaan antara keduanya. Akan tetapi, bagaimana pun, inilah resiko kita hidup di dunia, dan inilah ujian yang harus kita lewati sebelum akhirnya kembali kepada-Nya.

Salam sayang.

quu_anfusikum

Self Love and MotivationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang