The Funeral

289 45 3
                                    

Rumah besar keluarga Brawijaya siang itu nampak ramai. Keluarga maupun kenalan dari sang tuan juga nyonya besar datang satu persatu, memberi penghormatan terakhir bagi keduanya.

Sebagai anak pertama, Shanin nampak sibuk. Ia terus menyapa orang-orang yang datang untuk menyampaikan bela sungkawa, sesekali menanggapi obrolan singkat seputar kedua orang tuanya. Teman-temannya ikut membantu, sekedar membawakan minum atau jamuan bagi pelayat yang datang.

Di dalam, tepatnya di dekat peti tuan dan nyonya Brawijaya, Eileen duduk dengan kedua wajah bersembunyi di balik lutut. Kiara duduk disampingnya, dengan tangan merangkul pundak sang adik. Sementara Hellyn duduk di sisi yang lain, mengusap pelan tangan Eileen yang bergetar. Tak jauh dari mereka, Yana dan Yura duduk bersisian. Mata keduanya terus memperhatikan dua bungsu Brawijaya itu.

Claretta yang duduk di hadapan dua adiknya itu hanya bisa memandangi keduanya dengan tatapan kosong. Ia tau kalau seharusnya ia mengambil alih tugas si sulung, dan merangkul adik-adiknya. Tapi, ia begitu larut dengan rasa sedihnya hingga fikirannya blank. Ia bahkan hanya diam saat Yumi mengarahkan kepalanya agar bersandar di bahunya. Maisie, Heni, dan Kinar duduk mengelilingi Claretta.

Berbeda dengan tiga saudarinya, Yuvia memilih menyendiri di halaman belakang. Ia membaringkan dirinya di gazebo, tempat ia dan kakak juga adiknya berkumpul jika bosan di dalam rumah. Yuri dan Samuel tentu saja menemani teman mereka, meskipun hanya hening yang menyelimuti ketiganya.

Pukul tiga sore, setelah seluruh keluarga datang, peti yang berisi tuan Simon dan nyonya Amerta akhirnya dimakamkan. Proses pemakaman berlangsung secara tertutup, hanya dihadiri oleh pihak keluarga juga teman-teman dekat dari tuan dan nyonya besar juga anak-anak mereka.

Melihat peti yang perlahan tertimbun tanah, Eileen tak dapat menyembunyikan tangisannya. Ia memeluk Shanin yang berdiri di sampingnya, menyembunyikan wajahnya di bahu si sulung. Claretta, yang memakai kacamata hitam, hanya memasang ekspresi datar. Namun, air mata yang membasahi pipinya tak dapat menutupi kesedihan yang ia rasa. Sementara Yuvia dan Kiara, dua anak itu berpelukan, saling memberi kekuatan untuk satu sama lain.

Setelah prosesi usai, para pelayat pun membubarkan diri. Begitu juga dengan lima Brawijaya bersaudara, yang sebenarnya enggan untuk pergi tapi akibat paksaan si sulung, akhirnya pulang.

Di rumah, keadaan sudah sepi. Karena tadi saat prosesi pemakaman diadakan, Shanin sudah menyuruh pekerja dirumahnya untuk menyuruh pelayat pulang. Ia tau kalau adik-adiknya butuh waktu.

Claretta dan Yuvia langsung masuk ke kamar masing-masing. Eileen yang masih memeluk Shanin, mengikuti sang kakak ke kamarnya. Kiara sendiri memilih mengikuti si sulung, tak ingin sendirian di saat bersedih.

Jadilah, si sulung berbaring di tengah-tengh dua adik bungsunya.

Shanin membiarkan Eileen menangis, dan mengeluarkan kesedihannya. Sedangkan Kiara hanya berbaring sembari memeluk sang kakak.

Suasana di kamar itu hening, hanya terdengar suara isak tangis dari si bungsu.

Saat telinganya tak lagi menangkap suara dari sang adik, Shanin menoleh, dan mendapati sang adik yang sudah tertidur. Kepalanya kembali bergerak, menatap Kiara yang juga tengah tertidur.

Secara perlahan, Shanin bangkit. Ia bergerak secara pelan agar dua adiknya itu tak terbangun. Setelah berhasil, ia berjalan keluar kamar, berniat untuk melihat keadaan dua adiknya yang lain.

Ia pergi mengecek Claretta lebih dulu karena kamarnya lebih dekat. Tangannya terangkat, mengetuk pintu di depannya secara pelan. Tak mendapati sautan dari dalam, Shanin meraih kenop pintu dan mendorongnya pelan. Begitu pintu terbuka, Shanin mendapati sosok sang adik yang meringkuk di lantai, tertidur.

Dengan langkah pelan, Shanin menghampiri kasur sang adik, mengambil bantal juga selimut, lalu mengatur posisi Claretta agar lebih nyaman. Setelah memastikan keadaan Claretta, Shanin keluar dan pergi ke kamar Yuvia.

Ia mengetuk pelan pintu kamar Yuvia. Jika sebelumnya ia tak mendengar sahutan, kali ini sang pemilik kamar menyahut. Shanin pun membuka pintu, dan mendapati Yuvia yang tengah duduk di lantai dengan gitar di pangkuannya.

"Lagi ngapain?" Tanya Shanin seraya mendudukan dirinya di depan Yuvia.

"Gak ngapa-ngapain," Yuvia menjawab seadanya. Kepalanya tertunduk, menatap jemarinya yang tengah beradu dengan senar gitar.

Shanin tak lagi berbicara, membiarkan Yuvia melakukan apa yang ia mau. Yuvia sendiri tak lagi bersuara, membiarkan gitarnya mewakilkan isi hatinya.

Keduanya tak tau sudah berapa lama mereka duduk tanpa berbicara. Yang pasti, saat Yuvia sudah merasa sangat lelah, hari sudah malam. Maka, setelah saling mengucapkan selamat malam, Yuvia membaringkan dirinya di kasur. Tak perlu waktu lama bagi Yuvia untuk mengarungi alam mimpi. Melihat Yuvia tertidur, Shanin pun keluar dari kamar sang adik.

Alih-alih kembali ke kamarnya, Shanin pergi ke dapur. Ia mengambil sebotol air dari kulkas, lalu duduk di kursi. Shanin menghela nafas berat. Dengan kepala tertunduk, Shanin memikirkan keadaan adik-adiknya. Ia berharap, tidak ada yang berubah pada adik-adiknya. Ia juga berharap agar kesedihan yang mereka alami bisa segera pergi, meskipun Shanin tau hal itu adalah hal yang sulit.

"Kakak ngapain disini?"

Shanin, yang kepalanya di penuhi dengan banyak hal, terkesiap. Ia menoleh, dan mendapati Kiara berdiri di pintu dapur. Ia tersenyum ke arah sang adik, "abis ngambil minum."

Kiara membulatkan mulutnya, lalu ikut mengambil sebotol air minum dari kulkas yang langsung ia tenggak hingga tersisa setengah.

"Kamu mau tidur di kamar kamu apa ikut ke kamar kakak?" Tanya Shanin yang kini sudah berdiri dari duduknya.

"Ikut," ucap Kiara cepat.

Shanin mengangguk, dan mengulurkan tangan ke arah Kiara yang langsung di sambut oleh sang adik. Sambil bergandengan, Shanin dan Kiara pergi ke kamar yang lebih tua.

Sesampainya di kamar, Shanin langsung mengambil tempat di samping Eileen yang masih tertidur. Kiara sendiri menempatkan dirinya di samping Shanin.

"Kak," panggil Kiara.

"Hmm?"

"Kita bakal baik-baik aja, kan?"

Shanin tak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamarnya, seolah berharap kalau jawaban atas pertanyaan Kiara akan muncul disana.

"Pasti," jawab Shanin pada akhirnya. "Kakak bakal pastiin kalau kita baik-baik aja."

Shanin menoleh, menatap Kiara yang tengah memakukan pandangannya pada sang kakak. "Tidur lagi, gih. Masih capek, kan?"

Kiara hanya mengangguk, lalu bergerak pelan, mencari posisi yang nyaman untuk tidur. "Malam, kak Dya."

"Malam, Ra."

Shanin memperhatikan Kiara yang semakin larut dalam tidurnya, sebelum mendesah lega. Matanya kembali terarah ke langit-langit kamar, kembali memikirkan soal adik-adiknya.

Pada akhirnya, rasa lelah yang menderanya membuat Shanin kalah. Perlahan, matanya terpejam.

Sebelum benar-benar masuk ke dunia mimpi, Shanin berdoa agar ia juga adik-adiknya tetap baik-baik saja, apapun yang terjadi.

Sebelum benar-benar masuk ke dunia mimpi, Shanin berdoa agar ia juga adik-adiknya tetap baik-baik saja, apapun yang terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Update cepet karena Manchae berhasil wujudin mimpinya🙇🏻🙇🏻

Brawijaya [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang