Kiara mengerjapkan matanya perlahan, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Begitu penglihatannya pulih, Kiara melirik jam yang terletak di atas nakas disampingnya.
Jam 3 pagi.
Mengingat jika besok ia masih harus bersekolah, Kiara mengusap matanya pelan sebelum kembali memejamkan mata.
Namun, gerakan disampingnya membuat Kiara tak bisa kembali memasuki alam mimpi. Ia mencoba abai akan orang disampingnya, namun setelah beberapa menit, orang disampingnya tak juga berhenti.
"Lin, mending kamu tidur. Besok masih sekolah."
Setelah berucap demikian, Kiara kembali memejamkan mata. Berharap agar sang adik diam dan tidur.
Tapi, harap hanyalah harap. Kiara akhirnya menyerah. Ia memutar tubuhnya, menghadapkan tubuhnya ke sang adik.
"Lin, kenapa sih?" Tanya Kiara.
Eileen tak menjawab. Namun, Kiara dapat melihat punggung sang adik yang bergetar pelan.
"Lin!" Panggil Kiara saat sang adik tak menyahut. Ia ulurkan tangan, menepuk lengan sang adik.
Kiara terdiam sejenak kala telapak tangannya menyentuh tangan Eileen. Lalu, tanpa aba-aba, Kiara mendudukan diri.
"Eileen!" Kiara memanggil sang adik sekali lagi, kali ini sembari memutar tubuh si bungsu agar menghadap ke arahnya.
Rasa kantuk Kiara seketika menghilang kala matanya menangkap wajah si bungsu yang pucat. Peluh membasahi wajah juga tubuhnya. Tubuhnya pun bergetar, seolah kedinginan walaupun suhu tubuhnya cukup tinggi.
Dengan cepat, Kiara meloncat dari tempat tidur dan berlari keluar kamar. Tujuannya saat ini adalah mencari si sulung, yang ia yakini sedang berada di ruang tengah.
Ia refleks berdecak saat matanya tak menemukan keberadaan Shanin. Yang ada hanya laptop sang kakak yang menyala di atas meja, juga beberapa berkas di sekitar sofa.
Tak ingin mencari lebih lama, Kiara akhirnya membuka mulutnya.
"KAK DYA!"
Kiara menunggu sebentar, hingga akhirnya telinganya mendengar derap langkah kaki dari arah luar.
Ia menoleh, menatap Shanin yang berlari masuk dengan sebuah tote bag di tangannya.
"Kenapa?" Shanin bertanya ketika ia berada di jarak dengar Kiara.
"Eileen sakit, kak!"
Tanpa basa-basi, Shanin meletakan tote bag ditangannya ke sofa, lalu berlari ke atas. Ke kamarnya, mengingat dua bungsu Brawijaya itu masih enggan berpindah dari kamar si sulung. Dibelakangnya, Kiara mengikuti.
Begitu sampai di kamarnya, Shanin segera menghampiri si bungsu yang tengah membungkus tubuhnya dengan selimut. Ia mendudukan dirinya di samping si bungsu, lalu menarik pelan selimut yang menutupi wajah adiknya itu.
Dapat ia lihat wajah pucat penuh keringat sang adik, membuat Shanin merasa khawatir.
"Ra, ambilin kompresan ya. Sama kotak obat."
Kiara tak menjawab, memilih langsung pergi dan mengambil barang yang diminta sang kakak.
Shanin mengusap lembut kepala si bungsu. Tanpa menyentuh kulit sang adik, ia dapat merasakan suhu tubuh Eileen yang tinggi. Rasa khawatirnya semakin menguat, namun ia mencoba tenang.
"Lin.." panggil Shanin pelan. Tak mendapat sahutan dari sang adik, ia gerakan tangannya ke bahu sang adik, lalu menggoyangkannya pelan. "Eileen.."
Eileen hanya menggumam pelan tanpa membuka mata. Tangannya yang bergetar terjulur, meraba kasur yang ia tiduri untuk mencari selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brawijaya [SLOW UPDATE]
FanfictionSetelah kematian kedua orang tuanya, Shanindya memutuskan untuk mengambil alih peran kedua orang tuanya dan mengurus keempat adiknya.