Shanin mendudukan tubuhnya ke kursi ruang tunggu. Kedua siku nya bertumpu di paha, sementara kedua tangannya mencengkram erat sisi-sisi kepalanya. Nafasnya tak beraturan, namun sebisa mungkin ia kendalikan.
Keadaan sekitarnya sepi, tak terlihat seorang pun di ruang tunggu itu. Saking sepinya, ia dapat mendengar derap langkah kaki dari ujung koridor. Namun, Shanin tak perduli. Karena lagi-lagi, kepalanya blank. Ia bahkan lupa selama beberapa saat tentang alasannya duduk seorang diri di ruang tunggu rumah sakit itu.
Jika sebelumnya pelatihan yang ia dapat bisa mengembalikan kesadarannya, kali ini tidak. Karena Shanin benar-benar larut dengan kekalutannya. Dadanya bergemuruh, otaknya kosong, sementara suara-suara negatif di kepalanya terus melantunkan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Sungguh, Shanin sudah berusaha sekuat mungkin untuk menghilangkan segala fikiran negatifnya. Namun, kekalutannya membuat fikiran positifnya hilang entah kemana.
Ponselnya yang bergetar, membuat fokus Shanin kembali. Namun, ia tak meraih benda pipih itu. Alih-alih, ia melepaskan cengkramannya dari kepalanya dan berdiri, berjalan gelisah di sekitar ruang tunggu. Kedua tangannya yang ia masukan ke saku celana mengepal kuat, sementara hidungnya berulang kali menarik nafas dalam.
Shanin tak tau sudah berapa lama ia berada disana. Ia tak memakai jam, dan ia enggan melihat ponselnya. Yang pasti, saat seorang dokter berjalan menghampiri Shanin yang kini terduduk di lantai, Shanin tau kalau ia sudah berada cukup lama disana.
“keluarga Simon Brawijaya?”
Dengan perlahan, Shanin berdiri. Ia menyugar rambutnya, sementara ia menarik nafas dalam. Berusaha menguatkan diri atas berita yang akan ia dengar. “saya anaknya, Shanindya Brawijaya.”
Dokter itu mengangguk, “sebelumnya, saya dokter Andi, yang menangani tuan Simon. Saat datang, tuan Simon mengalami pendarahan hebat di bagian perut, juga kerusakan parah di bagian dada. Tulang rusuknya patah di banyak bagian, dan beberapa bagiannya mengenai paru-paru. Ke—”
“Langsung saja,” Shanin memotong cepat ucapan dokter Andi. “ayah saya…” Shanin menelan ludahnya susah payah, sebelum melanjutkan. “apa ayah saya….”
Shanin tak kuasa melanjutkan ucapannya. Raut wajah dokter di hadapannya sudah cukup menjawab pertanyaan yang ingin Shanin ucapkan. Shanin merasa kakinya melemas. Dokter Andi dengan segera menahan tubuh perempuan dihadapannya, dan menuntunnya agar duduk di kursi.
“ibu saya… bagaimana?”
Dokter Andi menatap bingung ke arah Shanin, “apa tidak ada yang menjelaskan apapun?”
Shanin menggelengkan kepala. Pasalnya, saat ia bertanya tadi, suster yang berjaga hanya berucap kalau orang tuanya berada di ruang operasi dan menyuruhnya menunggu disana. Dokter Andi menghela nafas lelah.
“Nyonya Amerta… beliau dinyatakan tewas ditempat.”
Detik itu, yang ada di kepala Shanin hanyalah keemat adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brawijaya [SLOW UPDATE]
FanfictionSetelah kematian kedua orang tuanya, Shanindya memutuskan untuk mengambil alih peran kedua orang tuanya dan mengurus keempat adiknya.