Eileen berbaring di lantai dengan nafas memburu. Matanya terpejam, menikmati angin dari AC yang ada di ruangan itu. Suara musik yang terdengar keras tak membuat Eileen risih. Alih-alih, ia merasa nyaman.
Saat nafasnya mulai teratur, Eileen berdiri. Mengabaikan pakaiannya yang sudah separuh basah, Eileen menggerakan tubuhnya. Mengikuti irama musik yang tengah terputar. Tak ia pedulikan tubuhnya yang sudah meminta diistirahatkan. Ia terus bergerak, dan bergerak.
Terlalu fokus pada tariannya, ia tak menyadari jika pintu ruangan itu terbuka. Memunculkan sosok Hellyn yang berjalan masuk dengan sekantung plastik di tangannya. Ia tak berbicara apapun, memilih duduk di kursi yang ada dan memperhatikan sahabatnya itu dalam diam.
Saat lagu berganti, barulah Eileen menyadari keberadaan Hellyn. Tapi, ia abaikan temannya itu, dan kembali menggerakan tubuhnya saat musik kembali terputar. Fokusnya pun kembali pada tarian yang ia lakukan.
Tiga lagu kemudian, barulah Eileen berhenti. Ia berjalan mendekat ke speaker, dan mengambil ponselnya. Setelah mematikan musik, ia hampiri Hellyn.
“Udah lega?”
Eileen tak menjawab pertanyaan Hellyn, memilih mengambil botol air yang dibawa Hellyn dan meminumnya cepat. Melihat Eileen yang enggan menjawab, Hellyn pun kembali diam. Menunggu Eileen untuk berbicara lebih dulu.
Eileen menghela nafas lelah, tapi tak bersuara. Ia mainkan botol yang sudah kosong itu, sementara otaknya berfikir soal banyak hal.
Tapi, yang menjadi isi kepalanya saat ini adalah perasaannya. Ia masih sering merasa sedih, masih sering merasa kalau apa yang terjadi pada orang tuanya hanyalah mimpi. Ia juga memikirkan soal kakak-kakaknya.
Apa kakak-kakaknya merasakan hal yang sama dengannya? Apa karena itu Claretta dan Yuvia masih mengurung diri? Lalu bagaimana dengan Shanin dan Kiara?
Sebuah pemikiran sederhana, namun begitu berat bagi Eileen yang belum pernah menghadapi dunia secara langsung. Selama ini, keluarganya selalu menjaganya. Memastikan kalau ia selalu bahagia dan jauh dari kesedihan.
Tapi sekarang, hanya dua dari empat kakaknya yang berada di sekitarnya. Eileen tak tau harus melakukan apa agar Claretta juga Yuvia tak lagi bersedih dan kembali menjadi kakak-kakaknya seperti dulu.
Memikirkan kakak-kakaknya, membuat kesedihan kembali mendatangi Eileen.
Hellyn, sadar akan perubahan mood dari sahabatnya itu, akhirnya bersuara. “gue bm mixue deh. Beli, yuk?”
Sadar akan intensi dari sahabatnya itu, Eileen tertawa kecil. “gue ganti baju dulu.”
Eileen meraih tasnya yang berisi baju miliknya, dan pergi ke ruang ganti. Sambil mengganti pakaiannya, Eileen kembali memikirkan soal keluarganya. Tapi, karena ia tak ingin membuat Hellyn menunggu lagi, ia singkirkan sejenak isi kepalanya.
Biar nanti ia bicarakan soal itu ke si sulung. Ia yakin, si sulung lebih paham soal apa yang harus ia lakukan.
Ya, pasti.
Lalu, setelah mengambil nafas dalam, Eileen keluar dari ruang ganti dengan pakaian bersih. Dapat ia lihat Hellyn yang sudah berdiri di samping pintu. Eileen hanya menggelengkan kepalanya dan menghampiri Hellyn.
Bersama, mereka pergi ke kedai Mixue yang berada tak jauh dari sekolah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brawijaya [SLOW UPDATE]
FanfictionSetelah kematian kedua orang tuanya, Shanindya memutuskan untuk mengambil alih peran kedua orang tuanya dan mengurus keempat adiknya.