Menjadi anak pertama, terlebih perempuan, bisa dibilang berat. Lebih berat lagi jika mereka menjadi sosok pemimpin di keluarga.
Shanin contohnya.
Bebannya menjadi anak perempuan pertama di keluarga Brawijaya sudah sangat berat. Sebagai anak pertama, Shanin tentu saja menjadi panutan bagi adik-adiknya. Ia menjadi tempat mengadu saat adik-adiknya itu tengah kebingungan. Ia juga menjadi tameng utama bagi adik-adiknya jika ayah ataupun ibu mereka menuntut terlalu jauh.
Belum lagi, tuntutan sang ayah yang harus ia penuhi. Juga, perjanjian yang ia buat dengan sang ayah, dulu. Semua hal itu berhasil membuat pundak Shanin terasa berat, seolah seseorang menekan pundaknya ke bawah secara kuat.
Dan kini, beban di pundaknya terasa semakin berat.
Ia harus mengurus banyak hal seorang diri.
Ia harus mengurus adik-adiknya seorang diri.
Ia harus menjadi penopang bagi adik-adiknya, seorang diri.Namun, jika ditanya, apakah Shanin merasa kesal ataupun marah karena terlahir sebagai anak pertama, maka Shanin akan dengan tegas menjawab tidak.
Memang, rasa lelah yang ia rasakan sebulan terakhir lebih dari apa yang ia rasa di 21 tahun hidupnya. Tapi, ia senang menjalani hari sebagai sosok kakak dari empat adik yang menurutnya hebat.
Ia bangga menjadi sosok kakak dari Claretta yang tak perduli akan ucapan orang lain demi kebahagian dirinya sendiri.
Ia bangga menjadi sosok kakak dari Yuvia yang sejak kecil sudah meniti jalur hidupnya sebagai seorang pemusik.
Ia bangga menjadi sosok kakak dari Kiara yang selalu berani mengutarakan apa yang ada di kepalanya.
Ia bangga menjadi sosok kakak dari Eileen yang selalu berusaha menghibur mereka jika sedang lelah.
Yang terpenting, Shanin bangga menjadi sulung Brawijaya, dan menjadi kakak dari 4 orang adik yang saling mensupport satu sama lain.
Namun, meskipun begitu, lelah tak ayal tetap datang.
Seperti saat ini contohnya.
Keadaan rumah saat ini sedang sepi. Kiara dan Eileen bersekolah. Claretta pergi ke kampus. Sedangkan Yuvia pergi ke studio untuk bertemu teman-temannya. Menyisakan Shanin seorang diri yang duduk di ruang tamu seperti biasa.
Shanin menghela nafas pelan, sementara tangannya menutup laptopnya secara perlahan. Matanya melirik kertas-kertas yang berceceran di sekitarnya. Kertas-kertas berisikan angka juga grafik yang membuat pusing.
Melihat kertas-kertas itu, jujur saja kepala Shanin sakit. Pasalnya, sejak kematian kedua orang tuanya, Shanin lah yang menjadi pemimpin dari perusahaan orang tuanya. Meskipun pengangkatnnya belum di lakukan, tapi ia sudah mulai mempelajari dan mengurus hal-hal seputar perusahaan milik orang tuanya.
Hal yang tentu saja membuat bebannya semakin bertambah.
Lagi, Shanin menghela nafas. Memikirkan segala hal yang terjadi selama sebulan kebelakang, Shanin benar-benar merasa lelah. Segala hal langsung menjadi tanggung jawabnya secara tiba-tiba. Ia bahkan belum sempat memberi waktu bagi dirinya untuk bersedih, membiarkan dirinya larut pada segala tanggung jawabnya.
Ia tahu kalau apa yang ia lakukan saat ini sangat tidak sehat. Ia membutuhkan pelampiasan bagi kesedihannya. Ia membutuhkan waktu untuk berduka, merelakan kepergian kedua orang tuanya.
Ia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.
Tapi, itu tak bisa ia lakukan. Atau setidaknya, belum bisa ia lakukan.
Karena tentu saja, segala hal yang kini menjadi tanggung jawabnya sudah menyita seluruh waktu yang seharusnya ia gunakan untuk memulihkan diri.
Dengan helaan nafas berat, Shanin merapihkan berkas-berkas perusahaan milik orang tuanya. Jam sudah menunjukan pukul 3 sore, waktu dimana dua bungsu Brawijaya pulang dari sekolahnya. Ia tak ingin saudari-saudarinya yang lain tau soal dirinya yang kini memegang kendali perusahaan, tak ingin membuat empat adiknya itu merasa terbebani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brawijaya [SLOW UPDATE]
FanfictionSetelah kematian kedua orang tuanya, Shanindya memutuskan untuk mengambil alih peran kedua orang tuanya dan mengurus keempat adiknya.