Coping Mechanism (1/3)

330 44 1
                                    

Claretta menghembuskan nafas pelan begitu sang dosen menyudahi kelasnya hari itu. Namun, ia tak beranjak dari duduknya. Matanya menatap lurus ke luar jendela, memandangi langit biru yang dihiasi awan putih yang bergerak lambat. Tangan kanannya menopang dagu, sementara tangan kirinya mengetuk meja dengan pelan.

Setelah telinganya tak lagi menangkap pergerakan di sekitarnya, barulah Claretta mengalihkan pandangannya. Ia menatap sekitar kelas yang sudah kosong, dan akan kosong karena ia tau kelas yang ia masuki adalah kelas terakhir. Hal itu lah yang membuat Claretta tak buru-buru keluar.

Alih-alih keluar, Claretta membaringkan kepalanya ke meja, tanpa memperdulikan buku juga peralatan tulisnya yang mengganjal. Helaan nafas itu kembali keluar kala ponselnya yang ia simpan di saku celana bergetar. Namun ia biarkan benda pipih itu bergetar dan memilih memejamkan matanya.

Meski telinganya dapat mendengar suara dari luar, keadaan kelas yang tengah kosong mampu membawa ketenangan bagi Claretta. Sejak pemakaman kedua orang tuanya, entah kenapa Claretta selalu merasa sesak dan penuh. Pundaknya terasa seolah ia tengah menanggung beban banyak orang. Fikirannya pun seolah berkabut, membuat ia kerap kali kesulitan berfikir.

Beruntung, pihak universitas paham akan kondisinya dan memberinya keringanan jika ia terdistraksi di kelas, selama ia mengumpulkan seluruh tugasnya dengan baik. Hal yang mudah bagi Claretta, tentu saja.

Sayang, ketenangan yang ia rasa harus berakhir. Suara derap langkah kaki yang ia dengar, membuatnya mengangkat kepala. Saat matanya menangkap sang pemilik langkah kaki, Claretta kembali membaringkan kepalanya ke meja.

"kenapa masih disini?"

"pengen aja."

Orang yang kini duduk di samping Claretta itu menghela nafas pelan. Tanpa berucap apapun, ia meraih buku juga peralatan tulis milik Claretta, merapihkan barang-barang gadis itu lalu disimpan ke dalam tas si pemilik. Claretta hanya membiarkan, bahkan tak bergerak sedikitpun dari tempatnya.

"Ret,"

"Hmm,"

"Claretta."

Claretta menghembuskan nafas kasar, lalu menegakan badan. "kenapa, Maisie Wirasena?"

Maisie berdecak, "ayo, ke kantin. Gue tau lo belum makan."

"males ah."

"Mau ikut atau gua seret?"

Kali ini, Claretta yang berdecak. Tak ingin berdebat lebih lanjut dengan temannya itu, Claretta memilih menurut. Ia sampirkan tasnya di pundak, lalu tanpa menunggu Maisie, ia berjalan lebih dulu. Maisie dengan segera menyusul temannya itu.

Jarak kelas Claretta dengan kantin cukup jauh. Butuh waktu hampir sepuluh menit bagi Claretta juga Maisie untuk sampai. Begitu sampai, keduanya dengan segera menghampiri Heni juga Kinar yang sudah ada disana lebih dulu.

"Yumi mana?" tanya Maisie begitu ia mendudukan dirinya di samping Kinar.

"Panggilan alam, biasalah." Ucap Heni. Ia dorong semangkuk bakso yang ada di depannya ke arah Claretta, "makan."

Lagi, Claretta hanya menurut. Tak memiliki niat untuk berdebat karena perutnya memang sudah terasa lapar. Melihat Claretta mulai makan, yang lain pun diam. Tak ingin membuat teman mereka itu berubah fikiran.

Brawijaya [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang