The Day Before

425 42 3
                                    

Shanindya membungkukan badan ke arah dosen pembimbingnya itu, sementara mulutnya berkali-kali mengucapkan kata terimakasih. Dengan senyum merekah, ia keluar dari ruangan yang ia tempati sejak beberapa jam lalu. Ruangan yang menjadi tempat dimana ia bersama dosen pembimbingnya membahas seputar skripsinya.

Mengingat skripsinya, Shanindya kembali tersenyum lebar. Ia senang karena judul skripsi dan materi yang akan ia kerjakan diterima dengan baik oleh sang dosen. Bahkan, dosen itu memberi masukan terkait topik yang ia angkat. Bahasan seputar topik skripsi miliknya membuat bimbingan yang seharusnya hanya satu jam, berubah menjadi hampir empat jam. Namun, Shanindya tak protes, karena ia mendapat lebih banyak masukan terkait topik yang ia ambil.

Merasakan tubuhnya yang mulai lelah, Shanindya pun segera pergi ke parkiran, berniat untuk pulang dan beristirahat. Namun, sesampainya di parkiran, ia baru mengingat jika stok makanan di kosannya sedang habis, hanya menyisakan beberapa bungkus energen juga kopi dan bubur cepat saji. Ia merenung, memikirkan apakah ia harus berbelanja atau pulang dan memesan makanan melalui ojek online.

Ia tidak ingin mengeluarkan uang untuk memesan makanan disaat ia bisa memasak sendiri, namun disisi lain tubuhnya sudah lelah. Pada akhirnya, Shanindya menuruti kemauan tubuhnya. Ia mengendarai motornya menuju kosan, berniat untuk beristirahat sekaligus memesan makanan.

Tak perlu waktu lama, ia sudah sampai di kosannya. Jarak antara kampus dan kosannya memang tidak jauh. Hal itu lah yang membuat Shanindya memutuskan untuk mengekos. Shanindya langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Matanya terpejam, menikmati hawa dingin dari AC yang sebelumnya ia nyalakan.

Shanindya membuka matanya, menatap lurus kearah langit-langit kamarnya. Melupakan rasa laparnya, otaknya malah memikirkan adik-adiknya. Sebulan ini, karena disibukkan dengan proposal skripsi dan penyerahan jabatan, ia tidak pulang sama sekali. Padahal, biasanya, minimal ia akan pulang kerumah dua minggu sekali.

Memikirkan itu, Shanindya mendudukan diri. Ia berfikir sejenak, memikirkan jadwalnya besok. Selain rapat himpunan membahas persiapan akhir acara serah terima jabatan, ia tidak memiliki kegiatan lain. Merasa besok tidak begitu sibuk, Shanindya meraih tas nya dan memasukan beberapa hal yang ia butuhkan untuk skripsinya. Setelah semuanya masuk ke tas, Shanindya pun menyampirkan tas nya ke pundak dan berjalan ke mobilnya.

“KAK DYAA!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“KAK DYAA!”

Suara teriakan yang begitu nyaring menyambut Shanindya yang baru saja memasuki rumah besar keluarganya. Bukannya terganggu, Shanindya malah tersenyum. Terlebih saat sosok tinggi adik bungsunya terlihat berlari kearahnya. Shanindya mempersiapkan diri, karena ia tau apa yang akan terjadi. Dan benar saja, sosok adiknya itu kini melemparkan diri ke arahnya.

Shanindya menahan tubuhnya agar tidak jatuh, dan balas memeluk Eileen. Ia membiarkan si bungsu selama beberapa saat, paham seberapa clingy nya adiknya itu.

“Kakak kok kemarin-kemarin ga pulang?” Eileen merajuk, membuat Shanindya tertawa kecil.

“Iya, kemarin emang lagi sibuk di kampus. Kamu gimana sekolahnya?”

Brawijaya [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang