Kiara memasukan asal buku juga peralatan tulisnya ke tas, tak peduli jika buku nya terlipat atau isi tasnya berantakan. Saat ini ia sedang di buru waktu, karena ia sudah memiliki janji dengan Eileen.
Tadi, sebelum berangkat, Eileen memintanya untuk menemaninya ke toko buku. Ingin beli buku pelajaran, katanya. Kiara sendiri yakin kalau adiknya itu akan melipir ke rak komik begitu kakinya masuk ke toko buku. Kiara tentu mengiyakan, tak ingin adiknya itu pergi sendiri, mengingat Claretta juga Yuvia yang masih susah untuk bergabung bersama mereka, dan Shanin yang punya kesibukan sendiri. Kiara berjanji akan menjemput Eileen setelah pulang sekolah.
Tapi apa daya, guru yang mengajar korupsi waktu. Waktu pulang nya mundur selama hampir 40 menit. Jika bukan karena teman satu kelasnya protes, Kiara yakin guru nya itu masih akan terus mengajar hingga satpam sekolahnya mengusir mereka.
Setelah tas nya tertutup rapat, Kiara berpamitan secara singkat pada dua teman karibnya, lalu segera pergi ke parkiran. Dengan cepat, ia memakai helm miliknya dan melajukan motornya itu.
Untungnya, jarak antara sekolahnya juga sekolah si bungsu termasuk dekat. Jadi, dalam waktu 10 menit, ia sudah sampai di sekolah yang sudah nampak sepi itu.
Kiara menghentikan motornya di gerbang. Matanya melirik sekitar, mencari keberadaan si bungsu. Dengan cepat, netranya menangkap sosok jangkung sang adik yang tengah berdiri di bawah pohon dengan wajah tertekuk. Kiara menghela nafasnya lega, lalu menjalankan motornya.
“Dek!”
Eileen mengangkat kepalanya saat mendengar suara sang kakak. Dengan wajah yang dipenuhi peluh, ia melangkah menghampiri Kiara yang nampak sangat bersalah.
“Sorry banget, tadi guru kakak rese soalnya, masih aja ngajar walaupun udah bel.” Kiara meminta maaf diselingi bercerita. Tak lupa, ia usap wajah Eileen yang basah dengan sapu tangannya. “mau beli es krim dulu, gak?”
Mendengar kata es krim, ekspresi wajah Eileen berangsur cerah. Dengan semangat, si bungsu mengangguk. Kiara tertawa kecil melihatnya, lalu menyodorkan helm yang tadi pagi ia bawa ke Eileen.
Dengan senyum lebar, Eileen menerima helm yang disodorkan sang kakak dan memakainya. Ia pun naik ke motor sang kakak, lalu dengan semangat menepuk pundak Kiara seraya berseru, “ayo, kak!”
Lagi, Kiara tertawa. Ia pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang, menikmati waktu bersama si bungsu yang sudah jarang terjadi."Totalnya 374 ribu, kak."
Yuvia membuka dompetnya, lalu menarik keluar empat lembar kertas bergambar Soekarno-Hatta dan menyodorkannya ke petugas kasir. Sementara tangan kanannya memasukan dompetnya ke saku jaket, tangan kirinya meraih tote bag berisi belanjaan yang baru saja ia beli itu. Setelah petugas kasir menyerahkan kembalian, Yuvia berjalan keluar dan menghampiri Samuel yang tengah menunggunya.
"Banyak amat," ceplos Samuel kala matanya menangkap belanjaan Yuvia.
"Orangnya banyak, anjir. Yakali beli dikit." Yuvia menyodorkan tote bag di tangannya ke Samuel, yang langsung di terima cowok tinggi itu.
"Emang siapa aja, sih?" Tanyanya saat belanjaan Yuvia sudah tergantung rapih di motornya.
"Si Riana sama Wilona mau dateng juga katanya. Terus bang Heru, bang Bima, sama kak Sandra juga kan dateng. Belom lagi gue, elo sama Yuri." Yuvia, yang kini udah mejeng di motor Samuel jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brawijaya [SLOW UPDATE]
FanfictionSetelah kematian kedua orang tuanya, Shanindya memutuskan untuk mengambil alih peran kedua orang tuanya dan mengurus keempat adiknya.