The Aftermath

278 44 1
                                    

Satu bulan setelah pemakaman Simon dan Amerta Brawijaya, rumah itu nampak sepi. Para penghuninya larut dalam kesedihan masing-masing. Entah itu mengurung diri di kamar, atau melakukan kegiatan lain guna mengalihkan fikiran.

Claretta memilih menyibukan dirinya dengan kuliahnya. Yuvia berfokus pada musiknya, membuat ia kerap kali mengurung diri di ruang musik yang dibuatkan oleh sang ayah. Kiara dan Eileen, setelah pemakaman, dua anak ini memutuskan untuk tidur bersama si sulung untuk beberapa waktu. Meskipun tak melakukan apa-apa, kehadiran sang kakak tertua cukup membuat mereka lebih baik.

Satu-satunya orang yang terlihat baik-baik saja adalah Shanin. Ia masih menjalani harinya seperti biasa. Meskipun ia tak lagi pergi ke kampus―ia sudah meminta izin kepada dosen pembimbing untuk mengerjakan skripsinya secara mandiri, sementara organisasinya sudah serah terima jabatan meskipun ia tak datang―ia tetap disibukan dengan banyak hal.

Ia kini berfokus pada adik-adiknya. Menyiapkan makanan, dan memastikan mereka baik-baik saja adalah kegiatan yang Shanin lakukan sebulan ini. Ia abaikan skripsinya sejenak, karena ia sendiri tak yakin bisa mengerjakan skripsinya dengan situasi seperti ini. Ia juga memutuskan untuk kembali ke rumah agar bisa fokus pada adik-adiknya.

Namun, meskipun Shanin berusaha, suasana di rumah besar itu nampak suram. Tak ada gerutuan kesal dari kamar Claretta saat gadis itu mengerjakan tugas, tak ada suara nyanyian dari kamar Yuvia yang tengah melatih vocalnya, tak ada suara berisik dari game yang dimainkan Kiara, tak juga ada keributan yang ditimbulkan oleh Eileen.

Rumah besar yang biasanya hangat itu nampak dingin.

Namun, Shanin paham. Adik-adiknya memiliki cara mereka masing-masing untuk berkabung. Jadi, Shanin membiarkan adik-adiknya, dalam hati terus mengingatkan dirinya sendiri agar selalu sedia kalau-kalau adik-adiknya membutuhkannya.

Sejak seminggu lalu pun, Shanin menjadi penghuni tetap ruang tengah. Sebagai satu-satunya akses ke tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua, ruang tengah menjadi tempat strategis bagi Shanin untuk mengawasi keberadaan adik-adiknya, terlebih Claretta dan Yuvia yang kerap kali pergi keluar.

Seperti saat ini. Shanin, yang tengah berkutat dengan laptopnya di sofa, menolehkan kepalanya kala telinganya menangkap derap langkah kaki.

"Udah makan, Re?" tanya Shanin. Claretta, yang seminggu ini sudah terbiasa dengan pertanyaan sang kakak hanya menggumamkan kata 'sudah' lalu berjalan cepat menaiki tangga. Shanin sendiri hanya mengangguk, lalu kembali mengalihkan fokusnya ke laptop di pangkuannya.

Mendengar peraduan antara jari dan keyboard, Claretta menghentikan langkahnya. Perlahan, ia berbalik, memperhatikan sang kakak yang entah mengerjakan apa di laptopnya. Claretta ingin menghampiri si sulung, tapi entah kenapa, ia ragu. Karena apa, Claretta tak tau. Yang jelas, untuk saat ini Claretta tidak bisa membawa dirinya untuk menemui sang kakak.

Pada akhirnya, Claretta melanjutkan langkahnya ke kamarnya. Membiarkan sang kakak seorang diri dengan kesibukannya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Brawijaya [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang