Bab 17 - Ancaman

2.3K 200 8
                                    

Happy reading gaes!✨

***

Nasya terkesiap kaget mendengar seruan Sean, begitu juga dengan Bintang.

Sean terlihat marah. Lelaki itu bergegas menarik tangan Nasya dan menyembunyikan Nasya di belakang tubuhnya. Sudah cukup ia bersabar melihat Nasya berangkat ke sekolah dengan lelaki bernama Bintang itu, tidak akan ia biarkan Bintang sampai menyentuh Nasya.

“Jangan pegang-pegang lagi! Awas lo!” tunjuk Sean pada Bintang.

Setelah mengatakan itu, Sean pergi dari hadapan Bintang bersama Nasya dengan memegang tangan Nasya.

“Wah, galak juga. Gue harus laporin ini ke Arhan,” gumam Bintang.

Sebenarnya Bintang bekerja sama dengan Arhan untuk mencari tahu kebenaran hubungan Sean dan Nasya, apakah benar Sean berpacaran dengan Nasya? Apakah Sean memang menyukai Nasya atau hanya untuk main-main? Dan sepertinya kini Bintang tahu apa jawabannya dilihat dari reaksi Sean yang tampak cemburu melihatnya dekat dengan Nasya.

“Sean, pelan,” pinta Nasya karena Sean berjalan begitu tergesa.

Sean pun memperlambat langkahnya.

“Sorry. Gue nggak bermaksud marah ke lo, Na.”

“Gue tahu,” sahut Nasya lantas menatap Sean dengan raut serius. “Tapi kenapa lo sampai keliatan semarah itu?”

Sean terbelalak mendengar pertanyaan Nasya.

“Lo nggak tahu?”

Nasya menggeleng.

“Gue kan suka sama lo, Na! Wajar dong gue marah liat lo dipegang-pegan sama cowok lain? Gue cemburu tau!”

Nasya mengangguk. Benar juga.

“Tapi lo harus tahu soal ini. Gue udah kenal Kak Bintang sejak lama dan gue anggep dia kakak sendiri, jadi lo tenang aja, gue nggak suka sama Kak Bintang sebagai lawan jenis,” ujar Nasya.

Sean mengulas senyum lega mendengarnya.

“Lo nggak perlu cemburu lagi,” imbuh Nasya.

Senyum Sean semakin lebar. Ingin sekali ia memeluk Nasya sekarang, tetapi untungnya ia masih sadar tempat.

***

Nasya makan dengan tidak nyaman karena Sean bersandar pada pundaknya. Padahal ini di kantin, ada banyak pasang mata yang memperhatikan, tetapi Sean tampak tak peduli dan menyandarkan kepalanya dengan santai pada pundak Nasya.

“Gue mau fokus makan. Bisa nggak lo jauhin kepala dulu?” pinta Nasya.

“Nggak bisa. Pinjem pundaknya bentar doang.”

Bukannya menuruti ucapan Nasya, Sean malah makin menempel. Ia memeluk pinggang Nasya masih dengan kepalanya menyandar di pundak Nasya.

Nasya menghela napas. Apa lebih baik ia dorong saja kepala Sean? Tetapi ada rasa tak tega untuk memaksa Sean menjauh, karena saat ini wajah Sean menunjukkan raut serius seolah ada hal berat yang sedang dipikirkan, bahkan Sean tak memesan makanan dan hanya diam melamun sejak tadi.

“Lo kenapa? Lagi ada masalah?” tanya Nasya.

Sean menggeleng dan tanpa bicara.

“Bokap lo gimana kabarnya?” tanya Nasya yang mendadak teringat soal itu.

“Lukanya nggak parah dan hari ini udah boleh pulang,” jawab Sean. Namun, ia tetap kepikiran tentang kecelakaan yang menimpa Papanya, karena saat itu seperti sengaja ditabrak.

His Hug (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang