6. Ulah Barra

33 5 3
                                    

"Barra!"

Barra mendelik tajam. Bahunya dipukul dari belakang dengan kuat oleh Aruni. Ia ingin marah. Hei, bagaimana kalau mereka berdua tiba-tiba jatuh dari motor. Barra tak habis pikir, dia kan sudah mengajari Aruni bahwa Aruni harus memanggilnya lebih sopan, tapi ini apa, tak ada realisasinya. Barra heran, Aruni tidak memanggilnya dengan embel-embel abang atau kakak, tapi kalau dengan Farhan atau bahkan Henry, huh, memikirkan itu membuat Barra emosi.

"Kok berhenti?"

Barra menghentikan motornya di tepi jalan. "Turun!" perintahnya pada Aruni. Aruni hanya menurut. Ia turun dan memandangi Barra dengan wajah sebal.

"Kok aku disuruh turun?"

"Jalan kaki dari sini ke kos," jawab Barra dan langsung meninggalkan Aruni. Hei, apa-apaan ini. Aruni menendang udara dan berteriak. Kok Barra meninggalkannya?

"Tau gitu nggak usah sok-sokan jemput aku di warung, pura-pura jadi abangku. Huh, nyebelin banget si dasar batu baraa!" Aruni berdecak. Ia hampir menangis, sumpah. Kenapa Barra tega sekali meninggalkannya di sini? Ia menelisik sekeliling, ditemuinya bangunan-bangunan publik, mulai dari toko buku di sebelah salon, dan juga café. "Ayah, jemput Runi."

Aruni mengusap setetes air mata yang mulai keluar. "Nggak, nggak boleh. Aku nggak boleh kayak gini. Aku udah janji sama diri aku buat harus mandiri. Hal kayak gini mah gampang." Aruni mengeluarkan ponselnya, hendak memesan ojek online. "Ah, kampret, hape muka monyet!" umpatnya sembarang ketika menyadari kuota internetnya baru saja habis tadi pagi.

Aruni masuk ke toko buku, berdiam diri lama di sana. Ia marah semarah-marahnya kepada Barra. Pokoknya ia marah. Nama Barra ia catat baik-baik dalam kepalanya. "Pokoknya sampai kosan, aku nggak boleh ngobrol sama dia. Aku aduin ke Bang Farhan." Aruni bermonolog, menatap barisan buku-buku yang tak ia suka.

"Masih di sini? Kirain udah diculik om-om." Aruni tau itu suara Barra. Ia sudah janji, ia tak boleh mengobrol dengan si batu bara ini.

Barra menarik tangan Aruni, membiarkan Aruni masih dalam keterdiaman yang panjang. "Naik, Run. Lo laper, kan?" Hening. Aruni masih tak menjawab pertanyaan Barra.

Meskipun Aruni sudah berjanji tak mau mengobrol dengan Barra, ia tak mau mengambil resiko Barra meninggalkannya lagi di sini, jadi ia naik saja ke motor Barra. Terserah, deh, Barra mau membawanya ke mana.

Barra membawa Aruni ke warteg langganannya. Aruni masih mode diam seribu bahasa, benar-benar menutup rapat mulutnya untuk berkomunikasi dengan Barra.

"Eh, anjir Henry ngapain di sana?" Aruni menoleh ke arah tatapan Barra dan tak menemukan sosok Henry yang disebut Barra tadi. Sial, Barra membohonginya.

"Denger nama Henry aja langsung noleh. Gue di depan sini nggak diperhatiin." Barra terkekeh, mengetahui fakta bahwa anak ini kesemsem dengan Henry. "Naksir lo sama si Henry?"

"Nyebelin, dasar kutu monyet!" Akhirnya Aruni mengeluarkan suaranya.

"Ih, ngumpat lo. Muka lo tuh mirip muka monyet." Barra tertawa. Sungguh seru menjahili manusia ini.

"Kak Barra yang mirip monyet, dasar kutu monyet!" Barra tertawa lagi. Akhirnya Aruni tau mengucapkan kata 'Kak' yang disematkan sebelum namanya. Tak sia-sia ia mengajarkan itu di warung tadi. Barra terkekeh bangga--sombong lebih tepatnya.

***

Farhan dan Henry sedang di dapur, meletakkan masakan mereka di meja makan. Iya, mereka memasak. Tadi mereka memasak nasi dan juga lauk. Farhan yang baru pulang kerja langsung ditodong Henry, menemaninya ke pasar. Farhan menurut saja dan mereka ke pasar.

Huru-hara Satu AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang