11. Aruni si Keras Kepala

27 7 22
                                    

Semua atensi di ruang depan beralih ke suara Farhan yang terdengar semangat. Seakan semua wajib tau siapa yang datang bersamanya, dan itu akan menjadi kejutan yang bagus—setidaknya, begitu pikir Farhan.

Barra dan Henry saling adu pandang, sementara Kayla menatap dua orang paruh baya yang bersama Farhan sekarang. Aruni sendiri, dia menunduk dalam diam, tak siap jika orang tuanya benar-benar akan membicarakan ini.

"Ayo silakan duduk Pak Baim, Ibu ...." Farhan menunduk ramah dan mempersilakan mereka berdua duduk di sofa.

Baim—ayah Aruni—menatap Barra dan Henry secara bergantian sebelum menggelengkan kepalanya pelan. Dia dan istrinya duduk di sofa, sedikit melirik pada meja di depan mereka yang sangat berantakan.

Menyadari lirikan dari Baim, Kayla buru-buru membereskan bungkusan seblak yang tadi ia beli beserta mangkuk besar di depan mereka. Kayla tersenyum canggung dan pamit menuju dapur, menaruh mangkuk di dapur. Barra dan Henry pun buru-buru memasukkan rokok ke saku mereka.

Dalam hati, mereka bertiga—Kayla, Henry, dan Barra—masih bertanya-tanya siapa orang ini.

Kayla kembali dari dapur dan duduk di samping Aruni, kembali menatap Baim yang membersihkan tenggorokan, menatap Kayla, Henry, dan Barra secara bergantian.

"Oke, teman-teman, kenalin ini Pak Baim ... ayahnya Runi ...." Farhan berhenti sebentar, mengedarkan pandangannya pada empat manusia di depannya yang tiba-tiba berhenti memgeluarkan suara, seakan dijahit mulutnya. Tangan Farhan beralih ke Ibu Aruni. "... dan ini Bu Brigita, ibunya Runi."

"Kebetulan juga, Pak Baim ini bos gue—saya—uhm ... di kantor," lanjut Farhan, sedikit terbata-bata.

Barra hampir saja menyemburkan tawanya melihat Farhan yang tiba-tiba kikuk. Dia tersenyum menahan tawa lantas tangannya mencubit telapak tangan Henry, memeberi tanda bahwa seharusnya Henry juga tertawa bersamanya.

"Runi, orang tua lo?" Tiba-tiba Henry menyeletuk, seakan melupakan eksistensi dua orang yang patut dihormati ini.

Barra menendang tulang kering Henry membuat remaja 17 tahun itu mengaduh kesakitan dalam diam. Dia meringis dan mendongak, mendapati tatapan Baim yang tak bersahabat. Henry meneguk ludahnya, merasa bahwa sebentar lagi seperti akan terjadi masalah yang besar.

"Oke, jadi kedatangan saya ke sini, mau menbawa Aruni pulang ke rumah ... " Baim mulai angkat bicara, membuat suasana seakan mencekam, menjadi lebih horor. Tak ada yang tak terkejut dengan ucapan Baim, tak terkecuali juga Farhan. "... karena saya rasa Aruni tinggal di sini akan membuatnya menjadi sedikit ... uhm ... nakal."

Kayla memandang Henry dan Barra, tak tahu harus berkata apa lagi. Aruni masih saja menunduk, tak mau menatap orang tuanya.

"Jadi, Runi ... ayo pulang, Nak."

Semua orang terdiam mendengar permintaan dari Baim. Terlebih lagi Barra dan Henry yang sedikit tersinggung dengan perkataan pria kepala empat tersebut yang mengatakan bahwa mereka takut Aruni menjadi nakal.

Aruni menggeleng pelan. "Aruni enggak mau," ujarnya pelan. Gadis berusia lima belas tahun itu kemudian menggeleng tegas lantas menatap Farhan. "Aku di sini ada Bang Farhan dan yang lain, mereka baik."

"Papa punya banyak alasan kenapa kamu enggak boleh tinggal di sini, Runi. Dari awal papa sudah enggak setuju dengan ide kamu yang mau tinggal sendiri dengan embel-embel pingin mandiri ini," ungkap Baim tegas. Nada suaranya dinaikkan sedikit, lantas dia meneguk salivanya, melirik sang istri. "Tapi, papa pikir enggak ada salahnya juga kamu coba buat mandiri. Papa lepasin kamu ke sini itu dengan berat hati sejujurnya, Run. Kamu cari kos sendiri, kamu pergi sendiri, papa masih berat sebenarnya, Runi."

Huru-hara Satu AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang