Aruni menghela napas berat, ia menatap sekeliling ruang kelasnya. Pandangannya bertemu pada Sandra bersama teman-temannya yang kemarin bersama-sama makan di warung, yang hendak ditraktrir oleh Aruni.
Aruni hendak beranjak ke sana dan mengobrol dengan mereka, tapi otaknya seakan berkata hal lain. Ia ingat kata Barra, ia hanya dimanfaatkan.
Apa itu betul?
"Run, lo sini!" Aruni mendongak, menatap ke sumber suara yang memanggilnya. Sandra? Ia tak salah dengar, kan? Apa Sandra masih mau berteman dengannya? Jujur, Aruni sepertinya tak akan bisa jika tak punya teman di sini.
Sebenarnya, tak akan jadi masalah jika Aruni tak berteman lagi dengan Sandra dan yang lain, karena ia juga mempunyai teman dari kelas sebelah, bahkan kakak kelas.
Aruni menghampiri mereka. Ia berdiri di depan beberapa orang teman-temannya. "Kenapa, San?"
Mata Aruni berbinar-binar, setia menunggu jawaban. "Lo beliin susu kotak dong di kantin. Tapi, pake duit lo dulu, yaa."
Tidak.
Ingat kata Kak Barra.
Otaknya berkali-kali merapalkan kata-kata penguatan itu. Kini hatinya juga ikut mengingat-ingat kata Barra.
Aruni menggeleng. "Maaf, San ... aku enggak bisa. Uhm, aku juga lagi enggak ada duit."
"Lo bohong, kan?" Dira, salah satu teman kelasnya ikut menimpali.
Aruni kembali menggeleng. "Aku emang enggak punya uang, Dir."
"Yaudah, sana-sana. Enggak guna banget kalau lo ga punya duit. Katanya anak orang kaya, cih."
Aruni kembali melangkahkan kakinya ke bangku. Betul kata Barra.
"Run, lo jangan main lagi sama mereka. Sandra tuh emang kayak gitu dari SMP. Gue satu sekolah sama dia." Aruni menoleh ketika ada yang menegurnya. Ternyata itu Putri dan Iqbal. Dua orang yang duduk si samping kanannya dan di belakangnya. Aruni rasa, mereka berpacaran.
"Hehe, iya. Udah enggak kok."
Tentu saja tak akan, toh ia masih punya banyak teman. Seperti Putri dan Iqbal, beberapa temannya di kelas ini, kelas sebelah, bahkan kakak kelas yang ia kenal dari MOS.
Ya, ia tak perlu khawatir.
Harusnya.
***
Aruni melangkahkan kakinya ke dalam kos dengan malas. Ia menghembuskan napasnya dan mengitari seisi kos yang kosong. Semuanya pasti masih sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Aruni menghempaskan tubuhnya di sofa.
"Laper," gumamnya. Matanya tertuju pada dapur dan terbesit keinginan untuk memasak. Namun, masak apa? Tentu, ia bingung akan memasak apa. Bahkan, ia tak tau caranya memasak.
Nasi sudah dimasak tadi pagi oleh Kayla, tetapi tak ada lauk karena sudah habis dimakan untuk sarapan pagi tadi.
"Hum, paling simple ya masak mie instan, tapi aku aja enggak suka mie instan." Berbicara dengan dirinya sendiri, Aruni akhirnya melangkah ke dapur, dengan tujuan membuat telur dadar. "Oke, yang ini juga cukup simple."
Aruni mengambil telur dan memecahkannya, mencampur dengan garam dan micin. "Udah, kayak gini, terus ...." Ia mencoba mengingat-ingat step demi step yang dilakukan oleh Henry waktu itu.
"Oke, panasin minyaknya ...." Satu demi satu langkah ia lakukan dengan telaten. Tidak boleh ceroboh.
Sampai akhirnya telur sudah dimasukan ke dalam wajan, dan tinggal dibalik dan diletakkan di piring.
"Ini nunggunya berapa lama, sih?" Kembali bertanya pada dirinya sendiri, Aruni benar-benar clueless sekarang.
Aruni akhirnya memutuskan untuk menunggu lebih lama lagi. Sampai ketika—
"Eh, kok ada bau gosong. Lo masak apaan, Run?"
—telurnya jadi gosong.
Aruni menoleh ke sumber suara yang ternyata adalah Barra. Dengan kemeja putih dan celana kain hitam pada dirinya yang menandakan bahwa ia baru saja pulang dari interview kerja—lagi.
"Lah, malah bengong. ITU GOSONG, ARUNII." Barra berlari ke dapur dan buru-buru mematikan kompor. Ia tertawa melihat telur yang sudah gosong, tak layak dimakan. "Run, hahaha, lo goreng telur aja gosong. Astaga." Barra tak bisa untuk tak tertawa, dan kali ini tawanya lebih keras.
Ditertawakan begitu, Aruni langsung ciut mentalnya. Padahal ia sudah berniat untuk belajar masak. "Ih, jangan ditertawain dong."
Tak mengindahkan peringatan dari Aruni, Barra tertawa lagi. Ia berhenti tertawa sejenak, melihat telur tak jadi buatan Aruni, lalu tertawa lagi. Seakan-akan ini adalah hiburan paling lucu.
"Mana minyaknya kebanyakan lagi. Lo enggak bisa masak, Run?" Barra kembali tertawa.
Aruni menggeleng dan Barrapun menghentikam tawanya. "Eh, serius, Run? Even dadar telur?" tanyanya dijawab anggukan dari Aruni.
"Aku laper, Kak. Jangan ketawain gitu dong."
"Yaudah, gue buatin yang baru deh. Tapi, lo perhatiin tuh dari awal. Pahami betul-betul, biar enggak kek gini lagi. Bila perlu videoin deh, oke?" Aruni mengangguk.
Maka, Barra mulai membuat telur dadar yang baru, dan Aruni benar-benar mengambil video, dong. Barra hanya geleng-geleng. "Astaga, beneran divideoin lagi."
"Nah, jadi gini deh." Barra meletakan dua piring telur dadar di meja makan dan tersenyum bangga.
"Ayo makan, Run," ajak Barra. Mereka pun akhirnya makan bersama.
"Anjir, suami-istri makan bareng!" Henry yang baru pulang dari sekolah langsung berseru heboh.
Aruni dan Barra sama-sama menoleh ke depan pintu. Bukan hanya Henry di sana, tapi ada teman-temannya—satu geng—yang dibawa ke kos.
"Hai, Kak Nanda!" Aruni melambaikan tangannya pada Nanda, yang notabennya sudah ia kenal.
"Hai, Run. Oi, Bang!" Nanda menyapa Barra dan Aruni lantas duduk karena dipersilakan oleh Henry.
Henry membawa empat temannya, entah apa maksud dan tujuan ia membawa mereka ke sini.
Barra dan Aruni sudah selesai makan. Aruni berdiri dan menuju ke kamarnya. "Aku masuk kamar dulu, ya, kakak-kakak." Begitu pamitnya dan ia pun menuju ke lantai atas.
"Anak kos sini juga, Hen?" tanya Arjuna, salah satu teman Henry membuat Henry mengangguk.
Arjuna juga ikut mengangguk dua kali, lantas menatap Aruni hingga tubuh Aruni hilang dari pandangannya.
"Eh, jangan bilang lo mau incar juga, ya. Abang-abangnya galak semua!" Nanda langsung menimpali lalu melirik ke Henry dan Barra bergantian. "Belum aja ketemu yang satu lagi."
Henry dan Barra sontak tertawa mendengar kalimat Nanda. Arjuna juga terkekeh ringan.
"Eh iya, ini Barra. Anak kos sini juga." Henry mengenalkan Barra kepada keempat temannya.
"Udah tau gue Bang Barra, nih. Udah terkenal di klub tempat gue main," jawab Andra.
"Iya, anjir. Pantes tadi kek familier gitu mukanya," timpal Hans lantas terkekeh. Ia mengangguk sopan pada Barra. Jangan tanya, empat orang ini memang suka keluar-masuk klub malam dan Barra sudah terkenal di sana—temannya merupakan pemilik klub malam. Henry sendiri memang suka juga ke tempat itu, tapi jarang.
Barra terkekeh. "Iya, dong. Kalian biasanya di tempat si Alan, kan?" tanya Barra diangguki oleh mereka berempat. "Alan tuh temen dari SMA sampai kuliah, bareng-bareng tuh. Udah klop banget pokoknya."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/341287602-288-k458938.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Huru-hara Satu Atap
أدب المراهقينDapat teman kos kayak keluarga sendiri? Well, mereka lebih dari teman kos. Mari berkenalan dengan Henry si paling jahil, Kayla yang tak suka basa-basi dan introvet tingkat dewa, Aruni si polos dan anak mami, Farhan pekerja keras yang sayang adik, d...