"Aduh, gue deg-degan banget. Semi-final besok ketemu kuda hitam."
"Iya ya, ga disangka aja itu tim jadi jago banget gitu."
"Yaelah, kayak baru pertama masuk semi-final aja. Santai."
Tawa dan candaan teman-temannya terdengar samar bagi Henry.
Hatinya kacau.
Tadi pagi, dia mendapat pesan dari ayahnya, menyuruhnya agar pulang ke rumah sebentar. Tentu, Henry juga ingin pulang, tetapi dia masih merasa tidak enak pada keluarganya, ketika dia pergi begitu saja dari rumah.
Kemarin malam, ketika mendengar curhatan Kayla, ternyata ia sadar; dirinya lebih durhaka.
Pencarian jati diri Henry tidak akan pernah berakhir jika dia tidak bisa menerima dirinya sendiri.
Henry terdiam sejenak, pandangannya kosong, melintasi teman-temannya yang bersemangat membicarakan pertandingan sepak bola besok. Pikirannya melayang jauh, tidak lagi memperhatikan percakapan di sekitarnya.
Jarinya sibuk mengetik pesan pada satu nama yang muncul di pikirannya, Kayla.
"Kay, entar temenin gu-" Mendengar suara temannya yang membaca pesan yang ia ketik, buru-buru Henry menutup ponselnya.
"Tai, ga usah baca!" Henry berdiri dan menatap tajam pada yang membaca pesannya, tak lain dan tak bukan adalah Andra.
"Ketimbang baca doang, Hen."
"Enggak!" tegas Henry. Dia meninggalkan teman-temannya dan berjalan menuju guru piket.
"JANGAN KEPIKIRAN APA-APA, HEN! BESOK TANDING!" Teriakan dari Nanda bahkan tak dipedulikan oleh Henry sendiri.
Pikirannya memang sudah berantakan sejak ia menerima pesan dari ayahnya. Ia tak bisa berpikir jernih. Hanya satu yang ada di pikirannya, yaitu Kayla.
"Bu, saya izin pulang duluan. Sakit demam, Bu." Begitu yang diucapkan Henry ketika sampai di depan guru piket. Tak ada basa-basi lagi.
"Heh, kamu bohong, ya. Enggak kelihatan sakit gitu." Guru piket yang didatangi Henry menaikkan alisnya bingung. Tentu saja ia tak begitu mudah percaya kepada manusia yang suka berbohong di depannya ini.
"Atuh bohong mah dosa, ibu geulis. Ngapain saya bohong. Lagian, saya izin kek gini biar besok stamina saya bagus, biar besok tanding tuh jadi semangat." Panjang lebar Henry menjelaskan, tak lupa dengan senyum lebarnya.
"Sejak kapan kamu jadi sunda gini, Henry?" Sambil mengeluarkan surat izin dan menulisnya, guru piket itu menggeleng pelan dengan tingkah Henry. "Yaudah nih. Ini juga karena kamu besok harus ngewakilin sekolah, ya. Awas kamu besok kalah, saya suruh cabut rumput sehalaman sekolah ini!"
Henry menerima surat izin tersebut sambil tertawa kecil. "Nuhun pisan, Ibu."
"Henry, kamu enggak cocok jadi orang sunda!" Guru piket berdarah sunda itu melemparkan botol air mineral kosong pada Henry yang sudah berjalan sehingga mengenai belakang Henry. Tentu saja, Henry sengaja berbahasa sunda seperti tadi karena ia tau guru piket hari ini adalah orang sunda.
Henry berjalan riang ke kelas untuk mengambil tasnya, sembari menunjuk surat izin pada teman-temannya dengan wajah sombong.
"Si tai, udah dapat surat izin aja," teriak Nanda begitu Henry menunjukan surat tersebut.
"Bos besar pulang dulu, ya. Dah." Dengan cekatan, dia mengambil tasnya dan keluar dari kelas, diiringi dengan teriakan 'booo' dari seisi kelas.
Mission one, accomplished
KAMU SEDANG MEMBACA
Huru-hara Satu Atap
Teen FictionDapat teman kos kayak keluarga sendiri? Well, mereka lebih dari teman kos. Mari berkenalan dengan Henry si paling jahil, Kayla yang tak suka basa-basi dan introvet tingkat dewa, Aruni si polos dan anak mami, Farhan pekerja keras yang sayang adik, d...