"Brian, kamu ngapain di sini?"
Cowok dengan seragam SMA serta hoodie abu-abu tersebut melirik sebentar ke sumber suara, yaitu Aruni.
"Eh, Run, gue mau ketemu Barra. Masuk sama-sama, ya."
Tak ada tanggapan lagi dari Aruni meskipun Brian sudah menjawab. Jadi, Brian hanya tersenyum tipis. Ia meletakan helmnya, serta mengacak-acak rambutnya tak jelas.
"Uhm, Run ...."
"Yaudah, iya, masuk aja." Aruni berucap tanpa sedikitpun melihat ke arah teman kelasnya tersebut.
Hati gadis itu kacau, tak beraturan. Ia sendiri juga tak tau pasti bagaimana kondisi hatinya saat ini, karena yang ia rasakan adalah nano-nano. Ada rasa ingin berteriak sekencang-kencangnya, ada rasa ingin memukul wajah semua orang yang dilihatnya, ada pula rasa ingin menangis di dalam pelukan seseorang.
Aruni mengeratkan genggaman pada tali ranselnya, langkahnya mantap menuju pintu kos bersama Brian yang berada di sisinya.
Masih berada di pintu, gadis dengan ransel biru itu menghentikan langkahnya, memandang pemandangan di depan. Tak ada yang aneh, sebenarnya. Hanya dua sejoli saling mengungkapkan rasa cinta mereka. Mungkin, karena kacaunya suasana hati Aruni saat ini, maka dia benar-benar tak ingin melihat apa-apa sekarang. Diangkatnya kedua tangan untuk menutup wajah sendiri.
"Lihat tempat juga kali kalau mau ciuman!"
Suara Brian terdengar, tetapi Aruni tak kunjung menurunkan kedua tangannya.
"Enggak usah lebay sampe nutup muka gitu."
Tentu, bukan hanya suara Brian yang ia dengar. Masih ada suara Barra. Begitu mendengar ucapan Barra, Aruni menurunkan tangannya serta menatap lurus ke arah Barra.
Helaan napas panjang dapat didengar oleh Brian yang berdiri tepat di samping gadis cantik ini. Dalam hatinya, dia berharap tak terjadi apa-apa, tak ada drama baru, serta hal-hal lainnya yang mungkin memecah belah pertemanannya dengan Aruni, juga hubungannya dengan Barra.
Tak ada lagi yang mau Aruni bahas. Rasanya, dia ingin tidur, melupakan semuanya meskipun hanya sementara. Dia ingin bangun di mana semuanya sudah baik-baik saja.
Tatapannya masih terkunci pada Barra yang kini sudah berdiri menuju dapur, entah untuk apa. Tatapan itu terus mengikuti punggung Barra, ketika Barra membuka kulkas, mengambil minum dan meletekannya di meja makan, juga ketika Barra kembali ke ruang depan untuk mengambil bungkus rokok.
"Kenapa kalian berdiri di situ kayak patung? Masuk. Kayak princess aja, nunggu disuruh masuk dulu."
Hati Aruni yang sudah kacau, menjadi makin berantakan. Dia marah. Dia tak tau hendak marah ke siapa, tapi dia tau betul bahwa perasaan yang saat ini lebih dominan adalah marah.
Ia membawa dirinya berjalan menyusuri tangga, naik ke kamar. Tak ada satu atau dua kata yang keluar dari mulut gadis tersebut.
Ditutupnya pintu kamar dengan keras. Tas ransel itu pun dibuang begitu saja, padahal Aruni adalah seorang yang begitu rapi, semuanya harus tertata, begitupun ketika pulang sekolah.
Matanya menuju ke foto keluarga yang dibingkai dan diletakkan di meja belajar. Pipinya mulai basah saat tatapan Aruni berhenti di wajah ibunya. Di foto itu, ibu tersenyum sangat lebar.
"Ma, aku salah, ya?"
"Kenapa dia sebegitu bencinya sama aku? Aku enggak pernah mau nyari musuh atau masalah sedikitpun. Aku enggak begitu, Ma."
Duduk di lantai dekat meja belajar, Aruni membenamkan kepalanya di lutut. Rok seragam pun ikut basah. Terdengar jelas tangisan gadis ceria itu.
"Aku ...." Bicaranya terbata-bata, ia sesekali mengusap pipi yang basah, meskipun air mata itu tetap turun lagi. "... enggak suka digituin."

KAMU SEDANG MEMBACA
Huru-hara Satu Atap
Novela JuvenilDapat teman kos kayak keluarga sendiri? Well, mereka lebih dari teman kos. Mari berkenalan dengan Henry si paling jahil, Kayla yang tak suka basa-basi dan introvet tingkat dewa, Aruni si polos dan anak mami, Farhan pekerja keras yang sayang adik, d...