Laki-laki berkacamata yang sedang berkutat di depan laptop itu menyugar rambutnya frustasi. Di depannya, bukan hanya laptop yang berisi pekerjaan yang rumit, tapi juga seorang manusia yang sama rumitnya.
Ya, perihal wanita, Farhan tak tau banyak. Dia hanya tau bahwa dia mencintai wanita yang ada di depannya ini, meskipun banyak rumit dan susahnya, tetapi itu bukan apa-apa.
"Aku minta ke sini bukan buat ngelihatin kamu kerja, Sayang."
Farhan menghela napas. Ia tau, memang harus begitu. Tetapi, pekerjaan juga menuntut untuk diprioritaskan, bukan hanya pasangan.
"Kamu ngapain bawa laptop segala, sih? Kan ke sini buat makan siang." Tania kembali mengeluarkan unek-uneknya.
Tak menjawab, Farhan menyeruput kopi susu pesanannya dan lanjut menatap layar laptop. Memikirkan konsep desain pada pekerjaanya kali ini.
"Farhan, kamu denger aku enggak, sih? Budek, ya?" Tania memukul meja pelan, lantas menatap kekasihnya di depan mata. "Kamu udah enggak sayang sama aku, ya?"
Mendengar pertanyaan basi yang keluar dari mulut Tania, laki-laki itu mengalihkan pandangan dari laptop dan menatap Tania, sesaat kemudian dia tersenyum. Dibukanya kacamata yang menghiasi wajah, lalu ia letakan di meja, di samping laptop. "Aku sayang kamu, Sayangku. Bentar, ya."
Farhan menutup laptop dan meletakan tangannya di atas tangan Tania. Tatapannya tertuju pada nail art Tania. Dia tersenyum tipis saat mengingat, pertama kali Tania memamerkan nail art padanya. Helaan napas terdengar sesaat setelah Farhan memikirkan hal tersebut. Rasanya, itu sudah lama sekali. Enam tahun lalu, waktu awal-awal mereka pacaran.
"Kamu jangan cemberut gitu, dong. Nanti ...." Farhan tak melanjutkan ucapannya, melainkan mencubit pipi Tania. "Cantik banget, sih. Dari dulu enggak pernah berubah cantiknya."
"Gombal." Semburat merah muncul di pipi Tania, tepat setelah Farhan mengatakan pujian tersebut. Terdengar jelas ketulusan dari nada bicara pasangannya.
"Farhan."
"Ya, Sayang?" Tatapannya tak lepas dari Tania. Senyumnya pun tak pudar ketika memandang wajah cantik wanitanya.
"Jadi kita gimana ke depannya? Mama udah nanya-nanya terus, kapan nikah. Dia bilang aku sibuk ngejar karir aja, males ah ditanya gitu mulu." Dalam beberapa detik, Farhan tak bisa berpikir. Ia tahu Tania pasti akan membahas ini lagi. "Kata mama, kalau aku enggak keburu nikah, aku mau dijodohin."
"Sayang, kamu bisa kan nunggu aku. Aku belum mampu secara finansial kalau nikah. Lagian mama kamu kan maunya pernikahan yang mewah, aku belum bisa, Sayang." Farhan mengelus punggung tangan kekasihnya, mencoba meyakinkan bahwa suatu saat nanti mereka pasti bisa. "Ini semua soal waktu, Sayang."
"Aku tau, tapi kamu tau sendiri kan mama gimana. Dia mau aku nikah sebelum 30, atau setidaknya pas umur 25 lah. Tapi, ini aku udah 26."
"Ya, aku tau mama kamu, tapi, enggak mungkin dong kita nikah tanpa persiapan." Sekali lagi, Farhan mencoba meyakinkan. Mencoba meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa kekasihnya tak perlu takut. "Aku tau dan aku paham betul kalau keluarga kamu nuntut cepat-cepat nikah, tapi aku mohon, kamu ngertiin aku, ya?"
"Aku tau, aku juga bilang gitu ke mama, hidupku masih panjang." Tania menghela napas sebentar sebelum melanjutkan lagi. "Tapi, ya gitu."
"Sebentar lagi, Sayang. Aku janji." Ditepuk-tepuknya punggung tangan sang kekasih, sembari menatap dalam mata Tania, meminta konfirmasi. Mereka bisa melewati ini.
Tania mengangguk pelan, menyetujui itu.
"Tapi, kamu enggak mau nyoba ngutang aja gitu? Nambah-nambah biaya nikah?"
![](https://img.wattpad.com/cover/341287602-288-k458938.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Huru-hara Satu Atap
Roman pour AdolescentsDapat teman kos kayak keluarga sendiri? Well, mereka lebih dari teman kos. Mari berkenalan dengan Henry si paling jahil, Kayla yang tak suka basa-basi dan introvet tingkat dewa, Aruni si polos dan anak mami, Farhan pekerja keras yang sayang adik, d...