Aruni mengernyit ketika Barra membawanya ke tempat lain, bukan ke kos. Motor Barra berhenti di sebuah taman.
"Turun."
Aruni makin dilanda kebingungan saat memdengar perintah dari Barra. Segera ia turun dari motor dan membuka helm. Helm baru saja terlepas dari kepala Aruni, tetapi sudah diambil paksa oleh Barra.
Aruni semakin bingung. Matanya menatap Barra yang sudah beranjak duduk di bangku taman, sehingga gadis tersebut mengikuti ke bangku taman dan duduk di sana, di samping Barra.
"Kok kita ke sini, Kak?" Akhirnya Aruni menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi ingin ia tanyakan pada pemuda di sampingnya ini.
Barra tertawa pelan lantas menggeleng. Ia menatap Aruni lalu berdecih. Lalu, Barra tertawa lagi.
"Run, Run, berhenti bersikap pura-pura enggak tau gitu, deh. Geli gue liat sifat lo kek gitu."
Cewek itu terkesiap. Tak ada satupun suara yang keluar dari mulutnya sebagai bentuk protes saking terkejutnya dengan perkataan Barra.
Tak ada pertanyaan yang menanyakan maksud ucapan Barra. Gadis itu hanya bergeming di tempat.
"Berhenti mikir kalau lo itu main character di dunia ini. Sekali-sekali lo harus pikir, kalau dunia enggak berputar di lo doang," sungut Barra.
"Aku ... eng- enggak pernah mikir gitu, Kak." Aruni seakan-akan kehilangan kata-kata. Ia tak tau harus mengatakan apa lagi.
Mendengar jawaban Aruni, Barra mendengkus. "Ya, lo mikir gitu."
Aruni menggeleng. Tidak, dia tak pernah berpikir seperti itu. Juga, atas dasar apa Barra mengatainya seperti itu?
"Kenapa Kak Barra bilang gitu?" tanya Aruni pelan, ragu-ragu. Ia takut.
"Karena ide bodoh lo buat ngekos itu, Runi! Bokap nyokap lo takut lo jadi ikut pergaulan gue. Gue tanya lo, emangnya lo bakalan terpengaruh sama gue?" cecar Barra. Ia menatap ke atas langit dan segera menunduk, memandang rumput dengan pikiran kosong.
"Terpengaruh atau enggaknya lo sama kita, itu salah lo, Run. Salah lo karena lahir jadi orang kaya," lanjut Barra. Bahunya naik turun, lalu ia menarik dan mengembuskan napas cepat.
Aruni bergeming. Benar-benar tak punya ide harus melakukan apa sekarang. Semua pikiran-pikiran negatif tiba-tiba muncul di otaknya. Salahkah ia menjadi orang kaya?
"Salah lo karena bego banget, mutusin buat mandiri, sok-sok ngekos tapi enggak riset terlebih dahulu. Kenapa lo enggak ngekos di kosan cewek aja, sih?"
Matanya menatap Barra seakan tak percaya dengan semua ucapan yang baru saja Barra lontarkan. Benarkah ini semua salahnya?
Aruni menangguk pelan. Benar, mungkin ini semua salahnya. Ah, bukan mungkin lagi, tetapi sudah pasti. Ini semua salahnya. Harusnya ia tak memutuskan untuk kos di situ. Ia menghancurkan semua orang.
"Maaf, Kak."
"Gue muak banget liat muka lo, gila. Ketika lo datang, lo seakan jadi berlian yang wajib dijaga, enggak boleh kotor sekalipun." Barra menatap Aruni nyalang, lantas menyeringai. "Emangnya kenapa kalo lo jadi kotor? Reputasi bokap lo hancur kah?"
"Dengan adanya lo di kosan, lo bikin gue makin terlihat seperti monster. Kutukan. Awan hitam buat lo. Harus dijauhi, biar permata kesayangan mereka ini ...." Barra menunjuk Aruni lantas tertawa pelan. "... Enggak boleh kotor."
Barra berdiri dari duduknya dan mendengkus. "Besok, gue enggak lihat muka lo di kos lagi." Lantas pergi meninggalkan Aruni sendirian di taman.
Aruni tercenung, memproses semua yang ia dengarkan dari Barra. Sakit. Hatinya tak pernah merasa sesakit ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/341287602-288-k458938.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Huru-hara Satu Atap
أدب المراهقينDapat teman kos kayak keluarga sendiri? Well, mereka lebih dari teman kos. Mari berkenalan dengan Henry si paling jahil, Kayla yang tak suka basa-basi dan introvet tingkat dewa, Aruni si polos dan anak mami, Farhan pekerja keras yang sayang adik, d...