10. This Feeling

656 100 32
                                    

"Makanya kalau kerja yang bener! Waktu kerja tu fokus, jangan sambil ini lah, itu lah! Resek!" Kusembur Devi--anak Cost Control--dengan ragam kata-kata pedas yang langsung membuat perempuan berambut ikal sebahu itu merengut padaku.

"Yang enggak fokus itu siapa sih, Mbak? Ya namanya juga orang keliru, masa iya--"

"Dev!" selaku sengit. Sementara itu, Mas Bowo dan Mbak Nilam--dua rekanku di Purchase Team--berusaha menenangkanku dengan kembali memintaku duduk. Namun, aku menepis keduanya dan kembali menatap tajam Devi. "Kamu enggak sekali dua kali kaya gini. Syukur-syukur Mbak Anna sabar banget punya anak buah teledoran kaya kamu. Kalau aku jadi Mbak Anna, udah--"

"Dita. Udah, Dit." Mbak Anna akhirnya bersuara juga setelah terus terdiam menyaksikan adu argumenku dengan si sialan Devi. Coba lihat anak itu! Bukannya mengaku salah karena sudah teledor dengan salah satu dokumen review permintaan barang yang dikerjakannya, malah menggerutu sendiri seolah tak terima disalahkan.

"Yang bakal kena getah ya tetep kami di Purchase, Mbak!"

"Iya. Aku tau, Dita." Mbak Anna mendekat padaku.

"Mbak Anna juga akan terus repot--"

"Udah, udah." Mas Bowo memutus perkataanku dengan nada tegas yang mengindikasikan bahwa perseteruan ini memang harus diakhiri. "Aku paham kenapa Dita sampai kesel, An." Mas Bowo menatap Mbak Anna yang sudah berdiri di hadapanku sambil memijat daerah di antara dua matanya. Sepertinya dia juga tengah menahan diri agar tak tersulut emosi yang meledak-ledak sepertiku.

"Mau gimanapun tetap Devi yang salah. Dia enggak sekali dua kali bikin review yang keliru dan akhirnya berimbas pada dokumen purchase yang kami serahkan ke vendor." Mas Bowo terdengar menghela napas. "Baiknya kamu evaluasi dulu deh, An. Tim kamu juga kayanya lama enggak ngelakuin evaluasi mingguan, to?"

Mbak Anna mengangguk. "Iya, Mas. Aku juga masih beradaptasi. Masih butuh banyak belajar juga dari njenengan buat jadi ketua tim."

Mas Bowo mengangguk. Sebelum menepuk lengan Mbak Anna, dia mengodeku untuk kembali ke kursi. Akhirnya aku menurut meski dengan bersungut-sungut. Mbak Nilam mengikuti apa yang kulakukan sambil mengangguk menenangkan padaku.

"Enggak apa-apa. Ntar aku bantu Dita handle buat koordinasi ulang sama vendor, tentang adanya revisi permintaan, sekaligus atur ulang kontraknya." Mas Bowo menatap Devi yang masih berdiri sambil merengut. "Kamu kan udah setahunan lebih di sini, Dev. Waktu masih di bawah Mas Krisna dan sekarang Anna, kayanya belum ada perubahan ya? Kalau emang kamu masih enggak fokus kerja, mungkin Anna bisa kasih rekomendasi agar langsung manajer yang evaluasi--"

"Duh!" Devi memutus perkataan Mas Bowo dengan wajah menegang setengah kesal. "Iya. Iya. Aku akan evaluasi sama Mbak Anna dan janji enggak akan kaya gini lagi." Eh, tiba-tiba dia menatapku dengan dingin. "Lagian, aku lebih lama dari Mbak Dita."

"Ya elah." Vindy yang dari tadi diam saja di mejanya mendadak menyahut dengan nada kesal. Oh, apakah sebenarnya dari tadi dia sudah merasa gondok tetapi berhasil menahan diri untuk tak mengeluarkan komentar apa pun dan memilih melihat saja? "Enggak ngejamin lama atau enggaknya kerja, Dev. Kalau kerja udah lama tapi enggak profesional ya sama aja."

"Wis, wis." Mas Bowo menatap Vindy sambil menggeleng. "Ayo balik kerja." Kemudian, dia membisikkan sesuatu pada Mbak Anna, di mana perempuan itu langsung mengajak Devi untuk ikut dengannya menuju ke meja ketua tim.

Saat melewati mejaku sebelum kembali ke mejanya sendiri, Mas Bowo tiba-tiba berkata, "Bikin kopi atau teh dulu sana. Ademin otak."

Aku mendongak dan menatap ketua timku itu sambil mengerutkan kening. Namun, Mas Bowo membalasnya dengan anggukan dan senyum. Kemudian kembali berkata, "Aku kasih dispen setengah jam, spesial buat karyawan paling profesional di tim-ku."

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang