19. The Stupid Bet

507 92 31
                                    

Hidung kecilnya tak terlalu mancung dan kulitnya tak seputih diriku. Namun, cara dia berdandan membuat penampilannya cukup memukau. Mekap minimalis, rambut lurus sepunggung yang disemir cokelat tua dan diponi miring, serta style berpakaiannya yang match; blouse D&G warna pink salem dengan bawahan sepan hitam, ditambah heels senada warna bawahan yang dikenakan. Mungkin jika aku seorang lelaki normal, tak akan menolak apabila perempuan semacam ini melakukan flirting padaku.

Dengan gerakan elegan, Sisil--perempuan yang kini duduk berhadapan denganku di Grandis Barn, Colomadu--mengambil cangkir teh di meja dan menyesap isinya pelan.

"Makasih udah bersedia datang, Mbak." Setelah meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja, Sisil tersenyum padaku.

Dia sopan, suaranya pun lembut bak Putri Solo. Namun, entah kenapa rasa waspadaku padanya tidak berkurang sedikit pun. Rasanya seperti sedang berada di depan ular berbisa yang siap mematuk kapan saja.

Mungkin karena aku hanya membalas dengan anggukan, Sisil terlihat agak kurang nyaman. Dia menyelipkan rambut ke belakang telinga kanan, lalu bertanya, "Apa Mbak Dita sebaya dengan Mas Alsa?"

Oh, dia memanggil Alsa dengan 'mas'. Apa Sisil lebih muda dariku?

"Benar," jawabku. Kemudian aku memiringkan kepala dan bertanya, "Kamu lebih muda dari kami?"

Sisil mengangguk sambil tersenyum. Rasanya aneh. Senyum Sisil terlihat tulus. Apakah dia memang tipe orang yang--sebenarnya--ramah seperti ini?

"Setahun di bawah kalian. Makanya Mbak Dita panggil aku pakai nama aja. Mas Alsa juga enggak pernah panggil aku dengan 'dek'. Sisil aja gitu. Malah kerasa lebih akrab kaya temen deket."

Aku menyipitkan mata. Rasa ingin membalas perkataan Sisil dengan 'aku enggak pengen terlalu deket sama kamu' sebenarnya sudah meronta-ronta dalam diriku. Namun, sekuat tenaga kutahan, hingga akhirnya yang kulakukan adalah mengangguk mengiakan dengan senyum sesopan mungkin untuk mengimbangi perlakuannya padaku.

"Mbak di Purchase Team?"

Sejauh apa dia sudah tahu tentangku? Tak mungkin dari Alsa, pasti dia sengaja mencari jalan lain untuk mendapatkan banyak informasi mengenai diriku.

Tentu aku memilih untuk tak menanyakan hal itu padanya. Sehingga yang kulakukan adalah mengangguk--lagi--sebagai jawaban dari pertanyaan basa-basi Sisil tersebut.

"Belum ada setahun ya di Hadi Hotel? Betah enggak, Mbak? Kata Mas Alsa, kerja di hotel nyenengin juga."

Bertele-tele.

"Lumayan. Aku juga suka Solo. Suasananya beda banget sama JakBar." Kusesap pelan caffe latte-ku, lalu lanjut bertanya, "Kamu ngajak aku ketemuan mau ngobrolin tentang Alsa, kan?"

Kedua mata Sisil sempat melebar, tetapi dengan cepat dia kembali menormalkan ekspresi wajah untuk tersenyum lagi padaku. "Mbak Dita tipe blak-blakan, ya?"

Aku mengangkat bahu. "Cuman enggak suka sama hal yang berbelit-belit."

Selama beberapa saat kami saling terdiam, hingga akhirnya kudengar helaan napas Sisil. Ekspresi wajahnya serius. "Oke," katanya kemudian. "Aku juga akan to the point."

Kutatap kedua mata Sisil yang juga tengah menatap lurus padaku. Dia lalu berkata, "Aku hamil."

Keningku mengerut. Apa hubungannya denganku, coba?

"Bukan sama tunanganku, tapi sama pacarku yang lain." Dia menghela napas lagi, lalu meraih cangkir, menyesap isi di dalamnya. "Sayangnya, pacarku yang itu masih bocil, standar keluarganya enggak masuk sama kriteria Papa. Ditambah lagi dia masih jauh dari kata siap buat nikah."

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang