24. Final Decision

575 95 48
                                    

Sebelum keluar dari ruang meeting--setelah teman-teman sudah pergi--aku mendatangi Mas Bowo yang masih duduk di kursinya, dalam kondisi sengaja menungguku mendatanginya.

Sebelum meeting dimulai tadi, aku memang mengirim pesan WA pada atasanku itu, ingin berbicara berdua dengannya setelah meeting berakhir. Dan Mas Bowo menyetujui ajakanku tersebut.

"Udah mantap?" tanya Mas Bowo begitu aku duduk di sampingnya.

Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk mantap sambil tersenyum. "Insya Allah, Mas," jawabku.

Mas Bowo ikut tersenyum sambil mengangguk. "Sebenernya aku ngerasa sayang, sih. Soalnya kamu salah satu rekan kerja yang kompeten banget, Dit. Tapi, mau gimana lagi. Birrul walidain itu yang utama. Paham kan maksudku?"

Aku tertawa kecil sambil mengangguk. "Iya, paham. Makanya meski berat juga, tetep aku pilih keputusan ini, Mas. Enggak tau sampai kapan bisa nemeni Mama, setidaknya di masa-masa akhir hidupnya, aku ada buat dia."

"Aku salut sama kamu, Dit. Pemikiran kamu dewasa." Mas Bowo ikut tertawa. Kemudian, dia mengacungkan ponselnya padaku. "Ntar aku kabari lagi setelah dapat jawaban dari Pak Manajer. Surat resign-nya bisa kamu serahkan sama aku secepatnya. Biar segera aku teruskan ke beliau."

"Insya Allah lusa, Mas." Aku mengangguk sambil berdiri, mengikuti gerakan Mas Bowo. Kami lalu berjalan bersama menuju pintu ruang meeting.

"Jaga kesehatanmu baik-baik, Dit. Hidup di negara orang itu enggak gampang. Aku pernah dua tahun di Malaysia waktu ambil kuliah S-2 dulu. Meski katanya serumpun sama Indonesia, tetap aja beda banget secara adat istiadat dan kebiasaannya. Apalagi Singapura, to?"

"Hehehe. Inggih, Bapak. Matursuwun petuahnya." Aku meletakkan tangan di pelipis, tanda hormat pada Mas Bowo yang langsung terbahak-bahak. Mungkin dia geli dengan tingkah konyol sekaligus cara berbicara bahasa Jawa-ku yang sama sekali tidak medhok ini.

Kemudian, kami berdua kembali bekerja seperti biasa. Masalah rencana resign-ku ini memang masih rahasia, sengaja belum kupublikasikan karena masih harus mengurus pengajuan ke manajer, pimpinan pusat, dan sebagainya.

Sudah bulat tekadku untuk pergi ke Singapura bersama Mama. Kami akan memulai hidup baru di sana, sekaligus ikhtiar untuk kesembuhan Mama dengan mencari tempat terapi dan pengobatan yang lebih baik.

Rencananya begitu keluar dari Solo tiga minggu lagi, kami akan transit dulu di rumah Tante Shela, tinggal selama tiga atau empat harian di sana sebelum bertolak menuju Singapura.

Mama memiliki beberapa kenalan orang asli Indonesia yang tinggal di Singapura. Salah satunya bernama Tante Verni, seorang mantan model yang kini menetap di sana setelah menikah dengan lelaki asli Singapura. Tante Verni-lah yang kemudian membantu Mama membeli sebuah apartemen di daerah Bukit Timah.

Aku tak terkejut Mama bisa membeli apartemen yang dapat dikatakan cukup mewah itu, karena saldo dalam tabungannya juga cukup menyilaukan mata. Meski harus dengan cara 'mengotori diri' di masa lalu, rupanya hasil kerja keras Mama itu benar-benar terbayar dengan sepadan.

Ke depannya aku berharap, kehidupanku dan Mama akan jauh lebih baik. Dan entah kenapa aku optimis dengan hal tersebut.

Bagaimana tidak? Dua hari lalu, tiba-tiba saja Mama mengejutkanku dengan tingkahnya yang absurd. Sepulang kerja dari shift siang, Mama menyambutku dengan semringah sambil berkata, "Lihat deh paketan Mama yang baru dateng!"

Karena penasaran, aku lekas mengikuti Mama menuju kamarnya, dan benar-benar terkejut saat ibuku itu memamerkan tiga buah jilbab instan, dua buah pasmina instan, dan lima gamis motif bunga yang warnanya soft.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang