25. (Maybe) This is Our Last

696 103 39
                                    

Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan pikiran melayang ke mana-mana. Entahlah, kalau dibilang sedih dan khawatir sih iya, tetapi ada sebagian rasa sesak bercampur kekesalan yang masih menyusup dalam diri ini, sehingga menjadi sebuah perasaan yang nano-nano.

Bagaimana tidak? Rencana pagi hari yang akan kugunakan untuk menikmati waktu istirahat setelah seharian kemarin sibuk packing dengan Mama, mendadak hancur gara-gara telepon dari nomor asing sejam yang lalu. Ternyata Sisil. Dia tahu nomornya kublokir, maka perempuan tersebut meneleponku dengan nomor lain.

"Mas Alsa kecelakaan tunggal kemarin pagi. Sekarang dia dirawat di Karima Utama setelah dioperasi semalam. Aku cuma ngasih tau aja, entah info ini penting atau enggak buat Mbak Dita. Tapi karena setelah operasi Mas Alsa ngigau nyebut-nyebut Mbak Dita terus, bikin kupingku panas, kuputusin pagi ini ngabarin Mbak Dita." Begitu kata Sisil di telepon tadi.

Kuhela napas panjang sebelum masuk ke ruang di mana Alsa dirawat. Pintunya tertutup, suasananya juga lengang. Hm, apakah Alsa masih tidur dan tak ada seorang pun yang menjaganya?

Ah, mustahil. Bukankah bagi Andang Raharjo, Alsa adalah hal berharga yang sampai diikat kuat oleh tali kekang agar tak kabur ke mana pun?

Saat tanganku akan membuat gerakan mengetuk, pintu di hadapanku tiba-tiba dibuka dari dalam oleh seseorang. Sisil. Dia menatapku dengan terkejut, pun denganku. Kemudian, kami sama-sama berdeham.

"Oh, akhirnya Mbak mau juga jenguk Mas Alsa," katanya dengan nada ketus, membuatku malas memberikannya jawaban apa pun.

"Baru aja tidur tuh orangnya. Abis kusuapin bubur." Setelahnya, aku menemukan ekspresi puas di wajah Sisil. Mungkin dia tengah menunjukkan padaku, bahwa sekarang ini yang paling Alsa butuhkan adalah dirinya, bukan aku.

Masa bodoh! Aku sudah malas memikirkan hal-hal tak penting. Maka, aku hanya membalas perkataan--tak pentingnya--itu dengan anggukan santai tanpa mengatakan apa pun.

Sepertinya Sisil kesal dengan tanggapanku yang datar-datar saja. Aku bisa mendengarnya menghela napas kasar sebelum menggeser tubuh dan memberiku akses masuk ke dalam ruang perawatan Alsa.

Namun, saat aku akan melangkah masuk, kudengar Sisil memanggil namaku dan berkata, "Cuma aku sama Papa yang bisa bikin Mas Alsa hidup bahagia dan nyaman. Mbak Dita enggak akan paham apa alasannya, tapi aku dan Papa udah lama hidup sama Mas Alsa."

Aku berbalik untuk menatap Sisil yang ternyata sudah tersenyum simpul padaku. Wajah angkuhnya itu mendadak membuatku ingin menyiramnya dengan air.

"Hanya kami satu-satunya rumah tempat Mas Alsa pulang, Mbak. Sejauh apa pun dia berpetualang, tapi tetap aku dan Papa yang akan bisa memberikannya apa pun yang dia mau."

Sisil kembali tersenyum, kali ini lebih menyebalkan dari sebelumnya. "Makanya aku berani kasih tantangan itu sama Mbak Dita. Mau semuak apa pun Mas Alsa pada kami, tapi dia enggak akan pernah bisa, oh maksudku enggak akan pernah benar-benar mau ngelepasin diri dari kami."

Sisil maju selangkah mendekatiku, jarak kami sekarang mungkin hanya satu jengkal kaki. Nada bicaranya lebih rendah dari sebelumnya, seperti tengah mencoba mengintimidasiku. Dasar sinting!

"Secinta apa pun Mas Alsa sama Mbak Dita, realistis aja sih, kalau modal perasaan kaya gitu enggak akan mungkin bisa bikin bahagia. Mana mungkin Mas Alsa bisa ngelepas ikatannya denganku dan Papa, kalau kami berdua ini ibaratnya adalah nyawa baginya--"

"Sil," selaku dengan nada setenang mungkin, meski rasa kesal tiba-tiba merayap memenuhi dada ini. "Aku paham kok maksud kamu, jadi enggak usah dijelasin berkali-kali. Yang ada malah bikin aku jijik, tau enggak?"

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang