13. His Darkside

680 106 29
                                    

Company camp adalah sebuah acara yang--ternyata--sangat melelahkan, karena harus membuatku bertemu dan terpaksa terlibat obrolan basa-basi-busuk dengan banyak orang.

Secara ya, aku ini tipe manusia yang malas untuk berinteraksi dengan si ini atau itu. Apalagi berbasa-basi, menunjukkan wajah sok manis dan ramah yang not my style banget!

Dulu saat masih bekerja menjadi SPG, aku benar-benar merasa seperti bukan diriku. Hanya demi cuan dan bisa menunjukkan pada Papa dan Mama bahwa Dita ini pun masih bisa hidup tanpa mengemis uang pada mereka, aku terpaksa melakukan pekerjaan yang pada akhirnya hanya kujalani tak lebih dari setahun itu.

Setelahnya, daripada bepakaian seksi dan menebar senyum palsu, aku lebih memilih menjadi pelayan kafe yang hanya datang mengantarkan makanan, senyum ala kadarnya, lalu meninggalkan meja pelanggan. Atau menjadi admin kantor notaris, advokat, dan lain-lain yang mana pekerjaanku lebih fokus kepada input data, daripada harus memamerkan gigi di hadapan orang lain.

Lambaian tangan Eri dari seberang membuatku langsung membalasnya dengan hal yang sama. Dia panitia, itulah kenapa kami hampir tak bisa mengobrol. Eri sangat sibuk seperti teman-teman panitia lainnya. Kami hanya saling menyapa saat kebetulan bertemu--dari kejauhan seperti ini.

Meski kesal karena acaranya membosankan, suasana lingkungan tempat company camp ini diadakan membuatku cukup relax. Selama lima bulanan lebih tinggal di Solo, ini pertama kalinya aku menginap di Tawangmangu. Meski sudah beberapa kali main ke sini, tetapi rasa menginap di vila atau resort-nya memang beda. Apalagi resort milik keluarga Hadiwinoto ini. Mereka benar-benar kaya raya, ya? Papa kalah telak kalau dibandingkan keluarga itu. Jelas saja. Kudengar Guruh Hadiwinoto sebagai kepala keluarganya sekarang adalah tipe lelaki yang almost perfect, macam tokoh-tokoh novel atau KDrama begitu. Terlalu baik, terlalu dermawan, plus katanya juga religius. Pokoknya manusia unreal banget, lah!

"Agak dingin, ya?"

Aku lekas memutar kepala ke arah asal suara. Alsa. Dia merapatkan jaket dan berjalan mendekatiku. Senyumnya mengembang dan selalu berhasil membuatku terpana.

Persetan se-perfect apa Guruh Hadiwinoto, manusia bernama Alsa ini saja sudah terasa seperti tokoh novel yang unreal. Wajah, senyum, tinggi tubuhnya memukau, minus kelakuan setengah bajingannya itu.

Aku tersenyum kalem. "Tapi, sejuk."

Alsa berhenti di sampingku, jarak kami sangat dekat. Harumnya udara sejuk pegunungan di sini kemudian membaur dengan parfum maskulin Alsa, merasuk memenuhi indra penciumanku. Tak buruk, aku menikmatinya.

"Acara outbond tadi, menurut kamu gimana?" Alsa menatapku, intens. Ah, dasar! Tatapannya yang selalu seperti inilah yang membuatku serasa menjadi yang paling spesial baginya.

Aku mengangkat bahu. Sok santai. "Entah. Tapi, not bad."

Alsa tertawa kecil sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket hoodie yang tengah dikenakannya. "Aku sih mau semembosankan apa pun acaranya, udah cukup seneng dan bersyukur, karena satu kelompok sama kamu."

Mulai lagi.

Aku tersenyum kalem. "Oh, ya?"   Kusenggol pelan lengan Alsa dengan bahuku. "Sama, dong." Maaf ya, Sisil--atau siapa pun kamu--karena entah kenapa aku selalu tak bisa menahan diri untuk tak memberi umpan balik pada Alsa.

Alsa tersenyum penuh arti. Tangannya bergerak menuju arahku, membuatku bersiap akan menerima sentuhannya, tetapi sebuah suara centil tiba-tiba  mengganggu momen kami berdua.

"Alsa!" Tepukan kecil mendarat di lengan Alsa, dari salah satu teman sekelompok kami, Fina. Perempuan yang kutahu adalah salah satu staf di bagian Restaurant, entah sebagai admin atau apa, yang pasti bukan chef atau tukang masak di sana.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang