26. Even If

1.5K 103 26
                                    

Ini hari Sabtu, tepatnya tanggal 3 Mei 2025. Ah, ternyata sudah 2 tahunan aku berada di Singapura, menjalani kehidupan yang waktu pertama menginjakkan kaki ke sini begitu sulit, tetapi lama-lama terasa lebih ringan dan nyaman.

Aku tidak beralihkewarganegaraan, tidak ... maksudku bahkan aku tak pernah berpikir akan melakukan hal tersebut. Sebab, aku juga tak punya keinginan untuk menetap selamanya di sini. Entahlah, sampai detik ini hatiku masih ada di Indonesia. Solo, tepatnya.

Aku selalu merindukan kota kelahiran Mama itu, tempat yang hanya setahun kutinggali, yang awalnya hanya sebagai pelarian setelah mengalami kehidupan pahit selama lahir dan tumbuh di Jakarta Barat, sampai akhirnya menemukan jalan hijrah menuju kebaikan.

Kutatap langit cerah dengan awan putih berarak di atas sana. Kadang cuaca memang semenyenangkan ini, meski sudah 2 bulan lebih tak turun hujan. Memang bukan musim penghujan, tetapi Singapura yang terik sering terasa menyebalkan.

Pasti saat ini Eri sedang sibuk dengan anak bayinya yang lucu itu. Namanya Keenan, baru dilahirkan oleh sahabatku tersebut pada bulan Februari lalu. Setelah hampir 3 tahun menunggu, akhirnya datang juga buah hatinya itu ke dunia, melengkapi kisah cintanya bersama Mas Anggi, sang suami.

Pagi tadi Eri melakukan rutinitas seminggu sekali kami, yaitu melakukan panggilan video. Wajah berseri-seri Eri sejak kelahiran Keenan membuatku ikut merasa bahagia. Meski masih tetap menjalani LDR dengan Mas Anggi, tetapi Eri tak lagi merasa kesepian karena ada Keenan bersamanya.

"Apalagi kalau ada kamu, Dit. Pasti aku lebih seneng lagi. Rasanya pasti makin lengkap. Ada anakku dan sahabatku. Jadi, rasa kangen sama Mas Anggi bisa kualihkan dengan hadirnya kalian," kata Eri tadi. Tiba-tiba raut wajahnya berubah agak melo, membuatku antara merasa kasihan tetapi juga geli. "Ayolah balik ke Solo. Daripada hidup sendirian di sana," bujuknya, yang langsung membuatku tertawa geli.

Ya, memang sudah lebih dari 6 bulan ini aku hidup sendiri. Tepatnya sejak Mama meninggal dunia.

Tidak, tidak. Aku tak merasa sedih, meski tetap merasa kehilangan. Namun, daripada bersedih dan meratap, aku lebih memilih melepaskan dengan ikhlas. Sebab, sebelum menutup mata untuk selamanya, Mama telah menjalani kehidupan satu setengah tahun bersamaku dengan penuh kebahagiaan. Wajahnya yang meski makin lama makin pucat dan tirus itu tak pernah kehilangan aura ceria.

"Kalau suatu hari Mama dipanggil Allah, Mama siap, Dit. Mama udah ngerasa senang sekarang, apalagi hidup kamu makin hari juga makin baik. Rasanya kalau Mama meninggal besok pun Mama enggak masalah. Karena Mama yakin kamu akan hidup bahagia, dan Mama juga udah ngerasa cukup puas dengan kehidupan baru yang Mama jalani sama kamu beberapa waktu terakhir ini." Itu perkataan Mama dua hari sebelum meninggal.

Dan meski air mataku telah meleleh, sambil menggenggam lembut tangan Mama, saat itu aku menimpali, "Makasih udah mau kembali pulang kepadaku, Ma. Makasih udah mau kembali mencintai dan menyayangiku. Aku pun enggak akan ngerasa berat andai suatu hari nanti Allah manggil Mama, karena aku udah ngerasa tenang liat Mama penuh dengan kebahagiaan akhir-akhir ini."

"Mama sayang kamu, Dit. Janji sama Mama, ya? Kamu harus terus hidup dalam kebahagiaan, ada atau enggak ada Mama di sampingmu," pungkas Mama sambil memelukku erat.

Malam itu kami berpelukan sambil menangis dengan haru di kamar Mama. Esok paginya Mama tak sadarkan diri, membuatku lekas membawanya ke rumah sakit. Kemudian hari berikutnya Mama kembali ke sisi Allah dalam keadaan damai dan senyum mengembang di wajahnya.

Tentu saja ada yang berbeda setelah Mama tiada. Apartemen kami terasa sangat sepi. Biasanya ada Mama yang selalu tertawa geli atau mengomel sendiri saat menonton televisi. Biasanya ada suara nyanyian Mama saat memasak di dapur. Biasanya Mama membangunkanku untuk salat Tahajud di sepertiga malam.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang