6. Are You Free This Weekend?

789 109 12
                                    

Kutekan tombol Ctrl dan S sebelum keluar dari dokumen-dokumen sialan ini. Namanya pekerjaan, kalau dituruti tak ada habisnya. Realitanya begitu. Waktu dulu aku bekerja sambilan menjadi pramusaji di tengah-tengah masa kuliah, sampai pernah menjadi sales girl rokok yang menawarkan barang dagangan dari satu kafe ke kafe lain, semua sama melelahkannya.

Kalau ada orang yang tahu latar belakang keluargaku, kemudian menemukanku bekerja ini dan itu, pasti akan bertanya-tanya kenapa demikian. Papa memiliki usaha di bidang properti yang cukup sukses, tetapi tidak pernah satu sen-pun uangnya jatuh ke tanganku, semenjak aku tak lagi berada di bawah pengasuhannya. Pun dengan Mama yang seorang pegawai bank swasta besar, dengan jabatan saat ini sebagai CS. Tidak ada satu sen-pun uangnya untukku, sejak aku memilih tak lagi mau tinggal di rumahnya setelah pernikahan terakhir ibuku tersebut.

Takdir membawaku ke Solo lima bulan lalu. Kemudian aku menempati rumah kedua orang tua Mama yang sudah diwariskan padaku sejak sepuluh tahun lalu. Dulu, saat Mama mengatakan bahwa Mbah memberikan rumah Solo padaku--dan bukan padanya, usiaku masih terlalu muda dan tak paham akan kugunakan apa harta warisan tersebut. Namun, begitu aku tersadar sekitar setahun lalu, ditambah makin muak dengan kehidupan di JakBar dan juga ingin menjauh sejauh-jauhnya dari kedua orang tuaku serta drama busuk mereka, maka kuputuskan mempergunakan hakku itu dengan sabaik-baiknya.

Kutatap langit di luar sana. Mendung, tetapi sepertinya hujan tak akan turun. Langit seolah hanya menakut-nakuti saja, atau sedang memprovokasi para buruh korporat sepertiku untuk segera pulang ke rumah begitu jam kerja berakhir. Tak usah mampir ke sana atau sini, melakukan ini atau itu, segera pulang dan rebahan saja di kasur. Seperti itu.

Namun, saat menatap layar ponsel, ada perasaan hampa yang tiba-tiba datang. Pesan Bella tak kubalas, yang dia kirim setengah jam lalu. Bukan karena kesal padanya, tetapi aku tak tahu harus membalas bagaimana. Kabar itu membuatku seperti diombang-ambingkan tak jelas. Perasaanku nano-nano, membuat dadaku penuh dan rasanya hampir meledak.

Kata Bella, Mama divonis kanker getah bening stadium tiga. Normalnya, sebagai anak korban keegoisan orang tua, yang dicampakan oleh dua manusia bodoh itu, aku akan masa bodoh dan kembali menjalani hari dengan biasa-biasa saja.

Namun, nyatanya tak semudah itu. Sebab, bayangan tentang hari di mana Mama pergi meninggalkanku malam itu tanpa membawa apa pun, keluar dari rumah Papa setelah ditampar dan ditendang ayahku tersebut, selalu mengganggu dan seolah menusuk jantungku dengan sangat dalam. Belum lagi ketika bayangan itu dengan cepat berganti menjadi ingatan tentang bagaimana ekspresi Mama saat aku membuka mata setelah pingsan kala itu. Wajahnya yang basah air mata, penuh ketakutan, ditambah kata-kata: "Jangan mati, Dit. Please!"

Kupejamkan mata, lalu setelah kembali membukanya, kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Terus seperti itu, sampai rasa penuh di dadaku berkurang.

Selanjutnya aku berdiri dan mulai membereskan barang-barang. Kemudian, sambil berjalan menjauh dari meja kerja, aku memasang TWS di telinga kiri dan menyalakan Spotify, memutar lagu-lagu dari penyanyi idolaku, Josh Groban.

"Dit, besok jangan lupa yang titipan anak Housekeeping itu diliat lagi, ya?" Tiba-tiba Mbak Anna memanggilku dari meja kerjanya. Sepertinya anak Cost Control itu akan lembur.

Aku mengangguk sambil memberinya acungan jempol, membuat perempuan yang dua tahun lebih tua dariku itu tersenyum puas. Setelah beres urusan dengan Mbak Anna, aku menuju ke mesin finger print dan melakukan absen kepulangan.

Perjalananku menuju lantai bawah diiringi dengan alunan Si Volvieras a Mi dari Josh Groban. Lagu patah hati yang mengharapkan kekasihnya yang entah kabur atau sudah mati itu kembali lagi padanya. Geli, tetapi ikut baper juga saat mendengarnya.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang