22. Breaking My Heart

535 88 33
                                    

Akhir bulan Agustus seharusnya belum masuk musim penghujan. Maka aneh rasanya jika pagi ini tiba-tiba gerimis turun dan mendadak melebat, agak lama pula. Entah mengapa perasaanku tak nyaman dengan kondisi ini. Biasanya aku tak percaya tentang firasat yang sering kuanggap mitos. Namun, gerimis lebat pagi ini ... kurasa merupakan pertanda buruk akan datangnya berita yang tak menyenangkan. Entah apa.

Gerakanku mengaduk kopi hitam di dapur terhenti saat mendengar suara bel rumah dibunyikan oleh seseorang entah siapa di luar sana.

Hm, pagi-pagi begini, bahkan belum ada jam 7, dalam keadaan hujan pula. Siapa gerangan?

Aku berjalan menuju ruang tengah dan meletakkan dua cangkir yang kubawa ke atas meja sofa ruang tengah di mana Mama berada. Satu cangkir berisi kopi hitam milikku, satu lagi teh hangat tanpa gula untuk Mama. Ibuku itu tak bertanya apa pun dan hanya menatapku yang langsung berjalan lagi menuju ruang tamu untuk membuka pintu depan.

Alsa berdiri di sana, rambutnya sedikit basah, pun dengan kemeja krem lengan panjang yang dikenakannya. Dia terlihat kacau, karena ekspresi wajahnya tegang dan panik.

Mulutku terbuka akan bertanya tentang apa yang terjadi padanya, tetapi Alsa langsung menubrukku dengan pelukan. Membuatku terhuyung beberapa langkah ke belakang dan sempat bingung selama beberapa saat.

Akhirnya, setelah sadar aku segera melepaskan tubuh Alsa. Sambil mencengkeram kedua lengannya, aku bertanya, "Kamu kenapa kaya gini? Dari mana? Ada apa?"

Alsa menatapku dengan putus asa, bibir bagian bawahnya gemetar. Dia tak langsung menjawab, seperti memikirkan sesuatu.

"Mama mau ke kamar dulu, Dit. Tutup aja pintu depannya biar ujannya enggak kedengeran sampai dalam." Tiba-tiba kudengar suara Mama dan selanjutnya langkah kaki beralas sendal rumah dari ibuku tersebut.

Aku tak menjawab apa pun sampai kudengar lagi suara pintu kamar Mama terbuka, lalu tertutup lagi. Benar, Mama tengah memberiku ruang untuk berbicara secara private dengan Alsa.

Kemudian, kulepas kedua lengan Alsa dan menutup pintu depan. "Kuambilin handuk dulu. Mau minum apa?" tanyaku padanya, sebelum berjalan menuju dapur.

Alsa menggeleng. Selama beberapa saat aku menunggunya kalau-kalau lelaki itu akan mengatakan sesuatu, tetapi ternyata tidak. Kuhela napas, lalu kembali berjalan untuk mengambil handuk.

Otakku bekerja keras berusaha menganalisis apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini. Pagi-pagi Alsa kemari. Kondisi hujan pun dia tak peduli. Keadaannya kacau dengan kepanikan dan putus asa yang tergambar jelas di wajahnya.

Mendadak jantungku berdegup kencang. Sambil terus melangkah kembali ke ruang tamu dan meremas handuk, aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Jangan-jangan ada kabar buruk yang berkaitan dengan Sisil atau papanya itu?

Ternyata Alsa masih berdiri dengan ekspresi wajah yang belum berubah dari sebelumnya, saat aku sampai di ruang tamu. Kuhela napas panjang, lalu segera berjalan mendekat, menarik lengan dan mendudukkan Alsa di sofa dengan pelan.

"Kamu bisa masuk angin," kataku sambil mulai menghanduki rambutnya. Alsa tak menjawab.

Namun, setelah aku selesai menghanduki rambut dan lehernya, tiba-tiba Alsa mengenggam pergelangan tangan kananku dengan erat, lalu mendongak menatapku dengan rasa bersalah yang jelas tergambar di wajahnya.

Ah, aku tahu. Hal ini pasti akan terjadi. Kini aku paham kenapa sepagi ini, menerjang hujan, Alsa kemari.

Sial!

"Sisil masuk rumah sakit," kata Alsa pelan, hampir tak terdengar. "Dia pendarahan ... setelah berusaha menggugurkan kandungannya. Lalu--"

"Lalu kamu minta aku memahami keadaan Sisil, gitu?" Aku berusaha melepaskan tangan dari Alsa, tetapi lelaki itu makin menguatkan cengkeramannya.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang