4. It's (Not) A Coincidence

892 135 22
                                    

Setelah menguap selebar mulut singa, aku berdiri, meregangkan tubuh, lalu mengambil kuncir dari dalam saku bagian belakang celana jinsku. Kuikat rambut lurus sebahuku, lalu kurapikan poni miring di kening ini dengan pelan.

Setelahnya aku memasukkan beberapa barang pribadi di atas meja kerja; kaca kecil, sunscreen, sebungkus rokok beserta korek matik, plus dua buah flashdisc ke dalam tas. Kubenarkan letak TWS di telinga kananku sebelum meninggalkan ruangan. Kemudian, tak lupa aku melakukan ritual para pegawai di sini saat datang dan pulang kerja: finger print.

Kusapa beberapa rekan kerja yang masih berada di dalam ruangan. Ada yang sedang beres-beres dan bersiap pulang, ada pula yang memang mengambil jadwal overtime--lembur.

Saat melewati jendela kaca besar di lorong menuju lift, aku melihat ke arah luar dan ternyata hujan deras tengah turun mengguyur Solo di malam ini. Kebetulan aku mendapatkan jadwal kerja di shift 2, dimulai pukul 12 siang dan berakhir jam 8 malam.

Syukurlah para pegawai bagian back office sepertiku tak mendapatkan kerja di shift 3, atau waktu malam sampai pagi. Jujur, aku lebih senang menghabiskan malam dengan menyendiri di dalam rumah. Menikmati minuman hangat yang entah itu teh, kopi, atau susu, sambil menonton Netflix di ruang tengah, atau kalau malas ya membaca buku sambil rebahan di kasur.

Biasanya seperti itu. Hal yang sangat kurindukan begitu jam kerja shift 2 selesai adalah rumah. Namun, entah kenapa setelah melihat hujan yang begitu deras di luar sana, aku merasa malas untuk pulang.

Biasanya aku tak merasa kesepian. Aku baik-baik saja dengan kesendirian yang selalu menjadi teman setiaku. Jadi, apa yang membuatku begini?

Setelah masuk ke dalam lift karyawan, oleh dua orang bapak-bapak bagian Housekeeping yang sedang akan turun ke bawah juga, aku ditanya akan turun ke lantai berapa. Salah satu dari dua bapak-bapak itu siap memencetkan tombol lantai untukku.

Awalnya aku akan mengatakan lantai satu. Namun, entah kenapa aku ingin minum kopi. Ah, tidak. Jujur saja ... aku ingin memastikan apakah Alsa masih di coffee shop atau tidak.

Hm, ini gara-gara sudah seminggu berlalu sejak aku ditraktir kopi v60 pour over olehnya. Alsa tak mengirim pesan apa pun padaku setelahnya. Dan tentu saja aku juga tak akan melakukan hal semacam itu terlebih dulu.

"Lantai tiga, Pak." Akhirnya aku menjawab. Baik, segelas americano hangat sepertinya tidak buruk. Lagi pula, di luar juga masih hujan. Meski memakai mantel pun juga tetap akan basah.

Sambil menunggu lift ini sampai di lantai tujuan, aku membuka kembali pesan dari Bella yang belum sempat kubalas tadi.

Bollu Kukus
Mama lo masuk RS. Tante yg ngabarin. Katanya tensi drop. Kayanya stres ngurus perceraian.

Aku tersenyum kecut. Malas membalas pesan itu. Bukan karena kesal pada Bella, tetapi lebih ke memang malas juga mengikuti drama yang tengah dibuat oleh Mama itu.

Salah siapa kan kawin-cerai melulu? Daripada menghabiskan umur dengan hal seperti itu, bukankah lebih mulia mengurus anaknya ini? Meski aku tahu bahwa ibuku itu tak akan memilih opsi kedua. Sebab, baginya aku adalah kesalahan. Karena adanya aku di dunia ini, hidup yang dulu dikatakannya sangat indah, berubah menjadi porak-poranda.

"Lantai tiga, Mbak." Suara salah satu bapak dari Housekeeping di dekat tombol lift membuatku lekas mendongak ke arah pintu yang juga otomatis langsung terbuka, begitu lift ini berhenti berjalan.

Oh, Alsa?

Kedua mataku melebar saat tatapan kami bertemu. Alsa sepertinya hendak masuk ke dalam lift. Dia mencangklong ranselnya di salah satu sisi saja, yaitu sebelah kanan, memakai jaket ber-hoodie warna hitam dengan garis putih di bagian lengan kanan dan kiri, serta rambut belah pinggirnya yang agak berantakan seperti biasanya.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang