21. It's About Me and Her

578 87 25
                                    

"Oh, serius? Seneng deh dengernya. Hehehe ...." Begitu kata Bella saat aku cerita padanya tentang kejadian malam itu, di mana Mama mendadak menjadi sangat melo dan menangis histeris sambil mengatakan sayang padaku, tidak mau berpisah denganku, serta meminta maaf akan semua yang sudah dia lakukan padaku.

"Jujurly, Dit. Waktu lo ngabari lewat WA kalau Tante Kinan batalin pergi ke Jakarta, gue udah suuzon kalau kalian berantem lagi. Gue udah ada rencana mau ngasih tau Tante Shela dan minta beliau bantu nengahin kalian. Tapi, pas lo bilang kalau alasannya karena Tante Kinan mau sedikit lebih lama di Solo dan nyoba buat rutin periksa dan bahkan rencana mau kemo, gue langsung mikir kalau pasti ada hal baik terjadi sama kalian."

Aku tersenyum dan mengangguk sendiri setelah mendengar perkataan sahabatku tersebut. "Aku juga kaget, malam-malam baru sampe rumah dan Mama kaya gitu. Out of the blue banget," sahutku.

"Masih penasaran sih gue sebenernya, Dit. Seriously, beneran cuma gegara Tante Kinan mendadak takut mati? Enggak beliau banget deh! Lo paham kan maksud gue?"

Aku tak langsung menjawab. Memang benar insting Bella ini bisa dikatakan cukup kuat, aku sudah memahami hal itu karena telah lama mengenal dekat dirinya. Apalagi Bella juga sudah lama kenal dekat denganku dan Mama, kebetulan juga Mama bersahabat dengan ibu tirinya.

Bella pasti merasa aneh dengan alasan yang kusampaikan padanya tentang kenapa Mama yang keras kepala dan sok tangguh itu mendadak berubah menjadi manusia berhati lembut, melunak, seolah tak memiliki daya apa pun lagi untuk kemudian merendahkan dirinya demi mendatangiku--anak yang selalu dianggapnya sialan ini.

Sejujurnya bukan karena Mama takut mati. Impossible Mama seperti itu. Sebab, Mama tak takut apa pun, bahkan kematian yang bisa saja mendadak mendatanginya karena memiliki penyakit mematikan tersebut.

Ada satu hal yang menjadi titik kelemahan Mama. Yang selalu sukses membuat perempuan tersebut rela menghancurkan hidupnya sendiri, hubungannya denganku, serta kehilangan jati diri.

Satu hal yang selalu dia anggap berharga, tetapi satu sisi sangat dia benci. Kebencian Mama pada hal itu sama besar dengan rasa cintanya, membuat dia makin jauh dari jalan menuju kebahagiaan, dan seperti manusia yang hidup segan mati tak mau.

Hal itu adalah ... Papa.

"Terus gimana tentang cowok itu?"

Pertanyaan Bella membuyarkan lamunan--memuakkan--yang selama sesaat berhasil membuat dadaku sesak. Kuhela napas dalam-dalam, mencoba melepas pikiran tentang Papa, kemudian bertanya balik, "Alsa maksud lo?"

"Siapa lagi, Kutil!"

Aku tertawa geli mendengar nada kesal Bella. Dia tak suka dengan Alsa dan sangat menolak kenyataan bahwa aku malah memberi kesempatan pada lelaki tersebut, bukannya segera memutuskan hubungan dengannya.

Menurut Bella, lelaki semacam Alsa tidak pantas bersanding denganku yang memiliki karakter keras kepala. Setelah aku menceritakan semua yang terjadi dan hubunganku dengan Alsa selama ini, Bella memakiku dengan penuh emosi. Dia menyuruhku meninggalkan lelaki yang katanya tidak memiliki karakter tegas dan terkesan plin-plan tersebut.

"Apanya?" Aku sengaja balik bertanya untuk menggoda Bella.

"Dih, Anjing!" Namun, sebentar kemudian dia tertawa, membuatku ikut terkekeh-kekeh juga. "Lo udah bucin banget kayanya ya sama dia? Soalnya gue njelek-njelekin tu cowok juga enggak mempan buat lo. Malah lo kasih kesempatan. Gila emang lo! Awas aja kalau kalian sampai tidur bareng lagi! Gue pecat lo jadi temen!"

"Sialan!" Aku kembali tertawa, diikuti Bella. "Gue juga punya harga diri, Bollu! Lo kira gue murahan? Bahkan, meski gue kasih kesempatan sama dia, gue enggak segampang itu ngizinin dia asal nyentuh gue lagi. Apalagi kami belum ketemuan lagi setelah malam itu di rumahnya." Aku menjeda sejenak untuk menghela napas dan menyandarkan punggung di dinding, masih dalam posisi berdiri di balkon ruang kerjaku.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang