17. Biggest Sin

671 89 34
                                    

"Aaaah, sialan!"

Sambil mengumpat, aku duduk dengan kasar di kursi dan meletakkan begitu saja ponselku ke atas meja.

Mas Bowo, Mbak Nilam, dan Chika melongok dari meja mereka masing-masing untuk menatapku. "Gimana?" Mas Bowo yang bertanya.

Aku mengedikkan bahu dengan kesal. "Emang vendor anjing," gerutuku.

"Eh, mulutnya!" Meski berkata demikian, tetapi Mbak Nilam tak bisa menyembunyikan ekspresi geli di wajahnya, membuatku dan beberapa teman lain dalam ruangan kami ini tertawa geli.

"Emang problematik sih vendor satu itu. Aku lagi ajuin usulan ke manajer tentang perubahan vendor terkait tepung terigu, katanya masih mau discuss dulu dengan manajer Restoran." Mas Bowo kembali menatapku. "Tapi sejujurnya, Tepung Angkasa milik pabriknya Raharjo ini paling bagus se-Solo, bahkan Jawa Tengah."

Itulah fakta sialan yang membuatku makin kesal. Jiwa anak purchase yang kumiliki membuatku sayang jika harus melepas vendor yang memiliki kualitas produk bagus seperti itu. Namun, selain karena masalah penjualan yang mbulet, ada satu hal yang membuatku sentimen dengan pabrik milik keluarga Raharjo itu sejak beberapa hari ini.

Apalagi kalau bukan karena Sisil. Yap, Andang Raharjo adalah pemilik dari PT Raharjo Sentosa. Dia adalah ayah Sisil. Si Sisil itu, yang anu-nya Alsa.

Setelah Alsa menceritakan semuanya padaku malam itu, bukannya makin berkurang bebanku, yang ada malah makin emosi dan ingin membuat perempuan bernama Sisil itu jauh sejauh-jauhnya dari Alsa.

Sayangnya, aku tahu tak semudah membalikkan telapak tangan untuk melakukan itu. Alsa sendiri meski berkata telah merasa muak dan lelah hidup di bawah kendali Sisil dan sang ayah, terlihat masih berat untuk benar-benar 'melarikan diri' dari mereka.

Sedikit banyak aku paham kenapa Alsa masih seperti itu. Berat pastinya menjadi yatim piatu setelah memiliki keluarga bahagia sejak kecil. Sisil dan ayahnya kemudian datang di saat yang tepat, mengangkatnya dari kesedihan dan kesepian, memberi dia segalanya, bahkan tak mempermasalahkan keteledoran bapaknya yang membuat dua nyawa berharga dalam keluarga itu melayang.

Kusandarkan punggung ke kursi setelah menghela napas, lalu menatap Mas Bowo. "Aku serahin ke kamu ya, Mas. Lagi banyak pikiran, jadi aku mau fokus sama urusan vendor lain dulu."

Bukan Mas Bowo yang menjawab, justru Mbak Nilam, dengan nada menggoda yang usil. "Dih, pasti lagi berantem sama cowoknya."

Aku menatap Mbak Nilam dengan kesal. "Lah, sotoy." Namun, kemudian terbahak-bahak bersama perempuan itu dan teman-teman kami lainnya.

"Oke. Kamu fokus urusin kerjaan lain dulu. Kalau ada info terbaru dari manajer, ntar aku kabarin," tutup Mas Bowo, sebelum dia menyuruh kami semua untuk kembali bekerja.

Namun, saat aku akan kembali fokus ke layar PC, ada pesan WA masuk dari Bella, membuatku lekas membukanya.

Bollu Kukus
Cepat tobat! Minta ampun sama Allah sana!

Belum sempat aku bereaksi apa-apa, pesan baru darinya masuk lagi.

Bollu Kukus
Kalau lo hamil gimana coba?

Sial!

Kumasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu berdiri dan menatap Mas Bowo yang ternyata sudah menatapku terlebih dulu dengan kening mengerut.

Aku menunjuk balkon dengan dagu, lalu kepalaku sendiri dengan telunjuk. Mas Bowo langsung paham bahwa aku minta izin menenangkan diri sebentar dengan alasan agak penat.

Lekas aku berjalan ke balkon, dan begitu sampai, segera kukeluarkan sebatang rokok serta korek api matikku untuk akan kunyalakan. Namun, mendadak gerakan tanganku terhenti saat ingatan pagi itu melintas di benakku.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang