14. Let's Stop!

655 96 20
                                    

Udara Tawangmangu pukul setengah tujuh pagi ini lumayan menyenangkan. Dalam keadaan normal, aku bisa menahan diri untuk menjaga kesejukan udara di sekitarku ini dengan tidak mencemarinya dengan asap rokok. Sayang, mood-ku sedang anjlok. Banyak hal yang menjejali pikiran, membuatku muak dan akhirnya terpaksa kembali lari ke rokok.

Asap rokokku mengepul dan perlahan menghilang saat sudah bersatu dengan udara sekitar. Saat ini aku berdiri di pinggir balkon, beranda lantai dua, restoran resort Hadi Hotel tempat kami akan melaksanakan sarapan pagi pukul tujuh nanti.

Aku sengaja datang lebih awal ke sini daripada berlama-lama di dalam kamar. Kebetulan--atau sialnya--aku sekamar dengan anak-anak Housekeeping yang tak begitu akrab denganku dan tak sekelompok pula. Mereka berdua--yang bernama Mimi dan Adira--sudah sangat akrab. Meski sesekali, karena agaknya sungkan, mereka mengajakku mengobrol, tetapi aku tak terlalu meresponsnya dengan antusias. Dan setelahnya, mereka bersikap agak lain, seolah aku ini manusia transparan.

"Aku nyari kamu, hubungin kamu, tapi sulit banget."

Ah, sial! Aku sudah berusaha menghindari lelaki ini agar bisa menikmati hari keduaku di company camp ini dengan lebih nyaman, tetapi kenapa dia seperti lalat yang terus mengejar bau busuk?

Aku bergeming, masih terus menikmati rokok seolah tak mendengar suara Alsa. Selama beberapa saat lelaki itu tak mengatakan apa-apa, sampai akhirnya aku dikejutkan oleh tindakan kurang ajar yang tiba-tiba dilakukan Alsa padaku, hingga membuat rokok di tanganku hampir jatuh ke lantai.

Dia memelukku dari belakang dengan erat. Kepalanya dia benamkan di bahu kananku. Mendadak aku kembali teringat akan semua perkataan Eri di ruang kesehatan kemarin. Rasa sesak kembali menyerang, saat kesal dan amarah kembali datang membelengguku.

Alsa dan Sisil, tentang hubungan sial mereka yang ... entahlah bagaimana itu!

"Kamu kenapa? Marah gara-gara Fina kemarin?" Bisikan Alsa di telingaku membuat bulu kuduk ini berdiri. Udara yang keluar dari hidung dan mulutnya saat berbisik tadi serasa menggelitik, membuat daerah leher sampai menjalar ke ujung kakiku seperti tersengat listrik.

Aku tak menjawab. Sengaja. Kemudian malah kembali merokok. Masa bodoh dengan prinsip yang biasa kupegang tentang tidak merokok di sekitar bukan perokok karena tak mau mereka menjadi perokok pasif. Justru sekarang aku berharap kalau bajingan ini mati saja dengan cepat. Meski kemudian aku menyesal sempat berpikir demikan.

"Aku enggak suka cewek modelan Fina. Kamu tau kan siapa yang aku suka?"

Bisikan Alsa kali ini membuatku mual. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan. Ribuan umpatan bahkan siap terlontar keluar dari mulutku, tetapi dengan kuat kutahan.

Tidak. Aku harus tenang. Apa yang kudengar dari Eri kemarin adalah hal yang masih ilegal. Maksudku, jika aku gegabah menyembur Alsa dengan hal-hal yang kudengar kemarin, bajingan ini akan mencari tahu dari siapa aku mendengarnya. Dan jika dia tahu bahwa itu dari Eri, otomatis aku akan menarik garis permusuhan di antara mereka berdua.

Jadi, yang bisa kulakukan sekarang adalah bersikap tenang; seolah masih tak tahu tentang apa pun yang terjadi antara Alsa dan Sisil seperti kata Eri kemarin--karena bahkan Eri juga tak tahu bahwa aku mendengar percakapannya saat itu, juga harus segera mengambil sikap.

Sikap itu adalah terus bermain-main dengan Alsa atau menjauhinya sekarang juga sebelum aku makin dalam di hubungan tanpa kejelasan ini.

Ayolah, Dita! Jangan gila! Serius kamu mau terus bermain-main dengan Alsa hanya karena tak ingin melepaskan kebersamaan dengan lelaki ini? Bagaimana jika perasaanmu makin dalam padanya, sementara dia saja belum bisa lepas dari pawang sialannya itu?

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang