18. Will You Forgive Me, God?

558 91 22
                                    

"Pulang dulu, Mas." Aku pamit pada Mas Bowo yang masih berkutat dengan PC dan tumpukan dokumen sambil mulai berjalan melewati mejanya menuju mesin finger print.

"Oh, iya. Ati-ati di jalan, Dit. Besok kukabarin tentang pembaruan kontrak perjanjian dengan Tepung Angkasa. Yah, semoga dengan kesempatan kerja sama kedua ini, mereka bisa lebih kooperatif."

Aku mengacungkan tanda 'oke' pada Mas Bowo dengan jari-jari tangan kiriku pada lelaki 35 tahun itu tanpa mengucapkan apa pun. Setelah selesai urusan dengan presensi kepulangan, segera aku menuju lift untuk langsung turun ke parkiran.

Tumben Solo hari ini agak dingin. Mungkin karena mendung terus menggelayut di langit sejak pagi hingga sore ini, tetapi belum hujan sama sekali. Udara terasa lembab, membuat malas melakukan hal-hal berat, apalagi selama beberapa hari ini tubuhku terasa pegal.

Ini hari keduaku perang dingin dengan Mama, tak saling bicara meski untuk sekadar saling sindir atau maki seperti biasanya. Ibuku itu sudah memesan tiket pesawat akan kembali ke Jakarta--tepatnya menumpang sementara di rumah Tante Shela--sebelum benar-benar pindah ke Singapura. Dia akan berangkat lima hari lagi.

Dengan kondisi yang tiap pagi merasa mual dan makin sedikit porsi makannya, belum lagi berat badan yang terus menyusut, ibuku itu bukannya makin takut mati, justru seperti malah menantangnya.

Dia tetap teguh dengan pendirian tak mau melakukan kontrol, terapi, apalagi kemoterapi. Baginya, biarlah penyakit itu pelan-pelan menggerogotinya sampai mati, karena tujuannya hidup di dunia ini sudah tak ada lagi.

Aku sempat kelepasan berkata sambil berteriak padanya di malam kami bersitegang kala itu. "Ya udah, mati aja sana! Mati sendiri sana di Singapura! Mama kan udah enggak butuh aku. Mama kan enggak pernah peduli mau aku khawatir atau mikirin Mama sekalipun. Mama kan emang dari dulu egois, gengsinya terlalu gedhe, enggak pernah mau mikir apa ada orang yang masih mikir nasib Mama atau enggak. Karena bagi Mama kan selama Papa enggak nengok ke arah Mama, artinya perhatian orang lain, entah siapa pun itu, enggak penting sama sekali."

Mama sempat membelalakkan mata sambil membuka setengah mulutnya tanpa suara setelah mendengarku berkata demikian.

Bukannya iba, aku justru tersulut untuk terus menyerangnya, meluapkan segala emosi yang kurasakan saat itu. "Mau aku ngemis-ngemis mohon biar Mama tetep hidup pun, mana Mama peduli, kan? Mama pikir Mama paling menderita di dunia ini, padahal aku lebih menderita karena keegoisan Mama dan keberengsekan Papa. Kalau kelak di akhirat aku ditanya siapa yang bikin aku hidup sebagai pendosa di dunia ini, akan kusebut Papa dan Mama sebagai penyebab utamanya!"

Kemudian, aku berjalan meninggalkan Mama, berjalan cepat menuju kamar sambil menahan sekuat tenaga agar tak meneteskan air mata. Kubanting pintu dengan keras sambil memaki Mama, selanjutnya tak ada obrolan apa pun antara kami berdua hingga hari ini.

Pintu lift terbuka, tinggal aku sendiri di sini. Kulangkahkan kaki keluar untuk segera menuju parkiran. Sudah hampir sebulanan ini aku tidak merokok sama sekali. Tepatnya sejak insiden yang terjadi antara aku dan Alsa malam itu.

Pernah aku mencoba merokok, sekitar lima harian lalu. Dapat dua isapan, tetapi setelahnya aku merasa mual dan malah terbatuk-batuk. Aku juga tak paham mengapa bisa seperti itu. Bayangan malam hari itu selalu muncul saat aku mencoba kembali mengisap rokok.

Apa mungkin ini cara Tuhan untuk membuatku sembuh dari kebiasaan merokok? Entahlah. Aku terlalu malu untuk meminta ampun padaNya, karena dosa-dosaku sangat banyak. Bahkan, aku sudah lupa bagaimana urutan cara berwudhu. Apa mungkin karena tubuhku sudah terlalu hina untuk bisa disentuh air wudhu?

"Dita?"

Kuhela napas pelan, memejamkan mata sejenak, untuk kemudian membukanya lagi dan berbalik menatap ke arah asal suara.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang