7. What Are We?

724 107 13
                                    

"Mau coba?" Alsa menyodorkan lemon squash-nya padaku. Ekspresinya datar.

Aku mengerjap-erjapkan mata, mencoba menganalisis apa sebenarnya niat Alsa. Sampai kemudian mulut sialanku bertanya padanya, "Is that okay, misal aku minum dengan sedotan kamu?"

Alsa menaikkan kedua alisnya, lalu tersenyum licik menyebalkan. "Kamu anak SD apa gimana? Percaya banget sama namanya 'ciuman tak langsung'."

Sambil memaki, segera kurebut gelas di genggaman Alsa dan meneguk isinya hingga habis.

"Aku cuma nawarin buat kamu nyoba, kenapa dihabisin?" Alsa merebut kembali gelasnya, lalu menatapku kesal.

Aku tertawa puas melihat ekspresinya yang menggemaskan itu. "Emang kamu doang yang bisa bikin aku kesel? Aku juga ahli bikin kesel orang lain."

Alsa masih merengut selama beberapa saat. Kemudian, dia meletakkan gelas kosong di tangannya ke meja, lalu menatapku intens.

Oh my! Tiap dia seperti itu, kenapa jantungku tiba-tiba berulah? Sebegitu kesepiankah aku, sampai ditatap lelaki tampan seperti ini langsung berdebar-debar menjijikkan begini?

"Ada sisa lemon squash di bibirmu--"

"Stop!" Aku mencegah saat tangan Alsa bergerak mendekati bibirku. "Aku bisa bersihin sendiri." Kemudian, aku mengambil tisu dari dalam tas kecil yang kini berada di atas pangkuanku.

"Wah, wah!" Alsa memiringkan kepalanya. "Kamu menolak servisku, yang kata orang sangat mahal dan langka."

Kuacungkan jari tengah pada Alsa, membuat lelaki itu terbahak-bahak. Namun, saat aku akan membalas kelakukan berengseknya itu, terdengar pemberitahuan bahwa film yang akan kami tonton akan segera diputar.

Aku buru-buru bangun dan mengajak Alsa yang sudah siap dengan dua tiket kami untuk segera masuk ke Teater 2, di mana film berjudul My Problematic Relationship akan diputar.

Saat berjalan mendekati pintu Teater 2, aku merasakan Alsa menggenggam tangan kananku secara tiba-tiba. Spontan aku menatap protes padanya. Namun, sambil sedikit menunduk dan terus menarikku berjalan, dia berbisik, "Tanganku kedinginan."

"Sialan!" bisikku balik, tetapi beberapa saat kemudian kami berdua tertawa bersamaan, sampai membuat penjaga pintu Teater 2 menatap ke arah kami dengan wajah kurang ramah.

Tahu, tidak? Ternyata film ini sama sekali tak menarik. Selama satu setengah jam menonton, aku berusaha menahan diri untuk tidak bangkit dari kursi dan meninggalkan teater.

Sementara itu, di sekitar menit ke-40, Alsa sudah pulas dalam tidurnya. Dengan santainya dia menyandarkan kepala di bahuku. Dan jika aku mendorong kepalanya itu menjauh, dengan masih memejamkan mata, dia mendekat dan meletakkan lagi kepalanya di bahuku. Seolah kepalanya itu magnet, sementara bahuku adalah kutubnya.

Sialan memang si Alsa! Dia yang memilihkanku film ini dan malah tidur dengan memanfaatkan tubuhku sebagai 'penghangat'-nya.

Sampai akhirnya, begitu keluar dari dalam teater, kumaki berkali-kali Alsa yang terus menertawaiku dengan usilnya. Kami berjalan pergi dari bioskop menuju parkiran, dengan aku yang masih terus mengomel dan memakinya. Alsa sendiri tak mengatakan apa pun kecuali tertawa dan terus tertawa.

Solo sore menjelang malam hari ini cukup menyenangkan. Tak ada hujan, tetapi hawanya cukup sejuk. Weekend yang didambakan oleh siapa pun, termasuk aku yang sempat mengalami kehancuran mood sejak kemarin setelah ditelepon oleh Mama.

Mama meneleponku terlebih dulu! Hal yang selalu kuanggap langka dan mungkin bisa masuk dalam daftar keajaiban dunia.

"Kupikir Mama udah lupa kalau punya anak," kataku waktu itu.

Even If [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang