Hujan turun deras sore itu, menyelimuti kota dengan suara gemerisik yang menenangkan. Di halte yang sepi, seorang anak perempuan, (name), berdiri di halte dengan sedikit gemetar. Rambutnya basah, meski payung kecil di tangannya mencoba melindunginya...
(name) mengerjapkan mata, hal pertama yang dilihatnya adalah ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan dan suhu ruangan yang sejuk. Berniat untuk bangkit tapi tidak bisa Karna kepalanya berdenyut.
"Ternyata kau sudah bangun (name). Kau pasti haus.. minum ya"
Kaiser berjalan cepat mendekati (name). Ia mengambil segelas air putih yang tersanding di meja yang berada tepat di sebelah ranjang. (Name) menurut, ia meneguk air yang disuguhkan kaiser.
"Aku dimana?"
"Rumah sakit."
Keduanya terdiam sejenak selama beberapa menit. Sebelum (name) kembali mengeluarkan pertanyaan.
".. kau beneran ayahku?"
"Mana mungkin aku bohong." Kaiser mengeluarkan handphone layar sentuhnya dan membuka kamera.
"Lihat ini.. kita begitu mirip bukan?"
(Name) mengangguk.
Kaiser memeluknya lagi dan mencium pipi tembem (name) yang menggemaskan. Begitu menyesalnya Kaiser meninggalkan (name) selama enam tahun lamanya.
"Aku punya permintaan."
"..apa itu?"
"Sepertinya kata Ayah sudah memiliki artian buruk dihati mu. Panggil Daddy saja ya."
"... Daddy itu bahasa Inggris kan?"
"Kau tau?"
"Uhm, aku diajari bahasa inggris oleh paman Rin."
"Rin? Rin siapa?" Tanya Kaiser, entah kenapa ia tidak merasa asing dengan nama tersebut.
"Katanya namanya Itoshi Rin."
Kaiser terkejut, ia tidak menyangka pria jutek itu diam-diam memiliki sifat lembut untuk mengajari anak kecil seperti (Name) bahasa Inggris.
"Dia baik? Bagaimana caranya memperlakukan mu?"
"Paman Rin baik kok, dia mengajariku dengan sabar walau kata-kata ku sering salah pengucapan."
"Oh ya? Coba katakan satu kalimat bahasa Inggris?"
(Name) melamun. Pikirannya kosong sehingga ia tidak tau ingin berbicara apa. Tapi hatinya memiliki sebuah keinginan yang bisa dikatakan secara lisan.
"... Daddy.. please don't leave me again.." (name) berucap lirih sambil menarik ujung kemeja kaiser.
Lelah, sakit,sedih dan kesepian. (Name) sudah muak dengan semuanya. Mungkinkah jika ia memohon kehidupannya menjadi lebih baik? Kaiser sudah meminta maaf dan membuat janji kan?
Kaiser sungguh tersentuh. Di elusnya surai pirang sang putri dengan penuh kasih. "I am promise, i wont leave you again."
"Janji ya?" (name) meminta kaiser untuk membuat janji kelingking. Kaiser dengan senang hati melakukannya.
Mereka mulai berbincang dengan akrab ketika kaiser mulai menceritakan dirinya sebagai pemain bola terhebat dan ingin menjadi selalu yang terbaik.
Lebih tepatnya membanggakan dirinya di depan anaknya. Itu merupakan salah satu hal yang yang selalu dia inginkan, sampai-sampai ia tidak sadar (name) telah tertidur ketika mendengar ocehannya.
Kaiser menatap wajah (name) yang tertidur dengan damai. Sekilas terbayang sosok mendiang istri yang telah meninggal.
"Benarkan? Sudah kubilang menitipkan anak, ke orang lain itu salah." gumam kaiser.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, menampilkan sesosok wanita berambut coklat sebahu yang terengah-engah, Yap Sena. Wanita yang selama ini merawat (name).
"Apa (name) baik-baik saja?!"
"Harusnya sudah lebih baik." jawab kaiser.
Mata Sena melebar, mengenali sosok pria jakung di depannya. "Kau kembali? Kukira kau sudah melupakannya."
"Mana mungkin, kukira setelah kau menikah, (name) akan mendapat lebih banyak kebahagiaan. Ternyata aku salah ya?"
"Aku benar-benar sudah berusaha sebaik mungkin untuk merawatnya. Dan.. Biaya yang kau berikan, aku menggunakannya untuk program kehamilan ku."
"Tapi, kau mendidiknya terlalu keras Sena." ujar Kaiser datar.
"Aku.. Minta maaf."
"Aku akan membawa (name) ke jerman setelah dia keluar dari rumah sakit." putus Kaiser.
Sena terdiam berberapa saat, kemudian mengangguk. "...baiklah, Kalau begitu, aku akan menyiapkan barang-barangnya."
Kaiser mengambil secarik kertas berbentuk persegi panjang dari saku celananya dan menyerahkannya pada Sena. "Untuk mu."
Lagi-lagi Sena dibuat terkejut ketika melihat nominal yang tertulis di kertas itu dan menolaknya dengan keras.
"Tidak perlu, aku tidak pantas menerimanya karena aku tidak mendidik putri mu sesuai dengan keinginan mu."
"Kalau begitu, bawakan koper (name) kemari setelah kau mengemasnya. Bawa yang penting saja, untuk yang lain aku bisa membelinya lagi nanti."
"Yah seperti biasa, dasar sombong."
"Aku tidak mengatakan hal yang salah kok."
-Bersambung
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.