Hari-hari berlalu, sudah tiga bulan lamanya (name) tinggal bersama kaiser.BSedikit demi sedikit ia mulai beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya.Hal itu dibantu dengan dua guru profesional bahasa Inggris dan bahasa Jerman yang dipekerjakan Kaiser untuk mengajar (name) secara privat di rumah.
"Nah, sudah paham dengan mata uang sekarang?"
"Aku memahaminya, guru."
"Bagus! Ah sudah jam segini, aku izin pulang ya."
Pukul empat sore, pelajaran bahasa Jerman berakhir. (Name) membereskan buku-bukunya dan ditaruhnya kembali ke kamarnya.
Ia menatap beberapa lembar mata uang di atas meja. "Aku ingin mempraktekkan nya langsung ah!" Kata (name) seraya memasukan uang tersebut kedalam saku celananya.
"Bibi Seth! Aku pergi ke supermarket dulu ya!"
"Nona tahu jalannya?"
"Tau kok! Kalau aku tidak Nemu supermarketnya aku balik lagi deh."
"Hati-hati!"
(Name) berjalan riang, ia mencari-cari supermarket yang pernah ia kunjungi bersama Seth dua minggu yang lalu. Yap, (name) memang jarang keluar rumah mengingat komunikasi dalam bahasa Jerman nya masih kurang bagus, belum lagi semua hal yang dibutuhkan sudah ada di dalam rumah. Ia tidak punya alasan untuk keluar rumah.
Setelah beberapa saat (name) bisa menemukan letak supermarket tersebut dan membeli susu putih kemasan persegi panjang dan puding stroberi.
Transaksi jual beli bisa (name) lakukan dengan lancar dan berniat untuk segera pulang.
Namun ketika hendak melangkah menyebrangi jalan raya, pikirannya kosong. Melihat sekeliling, (name) panik. Jalannya terasa asing seolah tak pernah ia lewati. Padahal ia hanya ingin kembali ke rumah setelah membeli pudding di supermarket.
"Aku harus tanya-
keramaian yang padat membuat jantung nya berdebar cepat. Ingin bertanya pada seseorang yang lewat, (name) terlalu takut karena belum pernah berkomunikasi dengan orang asing. Ia belum percaya diri dengan
kemampuan bahasa Jerman nya.Padahal dahulu ia sempat percaya diri pada kaiser akan pemahamannya dalam bahasa Jerman. Namun melihat bagaimana orang Jerman yang berbicara begitu cepat, kepercayaan dirinya menjadi turun.
(Name) meringkuk di pinggir jalan.
Menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya."Daddy.."
Entah sudah berapa lama ia berada di tengah rasa cemas dan kebingungan yang melanda. Tiba-tiba (Name) merasa pundaknya ditepuk oleh seseorang.
"Hey are you okey?" Telinga (name) menangkap suara berat yang pastinya merupakan seorang laki-laki.
(Name) mengangkat wajahnya, menatap wajah orang tersebut. (Name) tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan nya.
"Paman Rin?!"
"(Name)?! Kau ngapain di sini?"
Rin terkejut sekaligus heran. Anak kecil yang dulu sering ia temui di perpustakaan umum Jepang kini berada di Jerman, sedang meringkuk sendirian dan wajahnya tampak sembab seolah habis menangis.
"T-tunggu! Apa kau diculik?"
(Name) menggeleng. "Aku tersesat."
"Kenapa kau disini (name)?"
"Aku diajak Daddy kemari, sekarang aku tinggal disini." Ujar (name).
"Baiklah, dimana alamat rumah mu atau nomer telfon Daddy mu?" Tanya Rin sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Aku.. tidak tau."
Rin menghela nafas panjang, mau tidak mau ia harus menemani (name) Sampai menemukan Daddy nya. Mungkin setelah (name) tenang, ia akan melapor ke kantor polisi terdekat. Mana tau Rin alamat jalanan Jerman. Disini dia cuma ingin menemui temannya saja.
"(Name) kau tau? Kau mirip seorang pemain bola yang kukenal. dia pemain bola di Jerman." Ucap Rin setelah mengajak (name) duduk di bangku pinggir jalan.
"Iya tau, Kaiser Michael kan?"
".... Kok tau?"
"Itukan Daddy (name)."
Rin terdiam. Kalau saja bisa ia ingin berteriak,Hah?! Kau anak si bajingan munchen nomer sepuluh itu?! Kok kau tidak pernah bilang?!" Namun pikiran waras Rin lebih mendominan dan menyuruh dirinya tetap tenang.
"Namaku (name) kaiser, kalau di Jepang aku kaiser (name) ya?"
Mengabaikan pertanyaan (name), Rin berdiri dari bangku. "Ayo temui Daddy mu, kebetulan aku tau tempat latihannya nya."
"Paman tau?! Syukurlah! Maaf ya, (name) selalu merepotkan paman.."
"Bukan masalah, kita naik bus."
"Baik!"
(Name) menggandeng tangan Rin supaya tidak terbawa kerumunan.
Sedekat itu hubungan (name) dan Rin.Semua itu berawal dari (name) yang meminta bantuan untuk belajar bahasa Inggris kepada Rin yang waktu itu sedang membaca artikel bola di perpustakaan umum.
Karna (name) cepat tanggap, Rin jadi tidak merasa sebal seperti dulu dimana ia mengajari seorang Bachira Meguru yang benar-benar menguras emosi.
Menurut Rin, (Name) jauh lebih nalar di banding anak-anak seumurannya. Dia tidak terlalu cerewet, tahu sopan santun dan yang penting mandiri.
Hal itu membuatnya sedikit berharap jika memiliki anak nanti, ia memiliki sifat seperti (name).Rin selalu melihat (name) yang datang ke perpustakaan sendirian, ketika ditanya jawabannya adalah, selagi bisa, dirinya tidak ingin merepotkan orang lain. 'Bocil idaman.' pikir Rin.
"Masih lama?"
"Sebentar lagi harusnya sampai kok." Rin menatap layar handphone, memperhatikan lokasi-lokasi yang tergambar di google maps.
Keluar dari bus, (name) menghela nafas lelah. Sepanjang perjalanan ia harus berdiri Karna tidak mendapatkan kursi. Kakinya gemetar, ia tidak bisa lagi menyamai langkah cepat seorang Itoshi Rin.
"Paman! Sebentar!"
"Ada apa?"
"Kaki ku pegal.. maaf.."
.
.
.
.TBC
Next ntar sore atau malem
Sori ges jadi slow up, soalnyalagi dikeroyok psat otw mingdepnya lagi p5:)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐑𝐞𝐭𝐫𝐨𝐯𝐚𝐢𝐥𝐥𝐞𝐬 ; 𝐊. 𝐌𝐢𝐜𝐡𝐚𝐞𝐥
RandomHujan turun deras sore itu, menyelimuti kota dengan suara gemerisik yang menenangkan. Di halte yang sepi, seorang anak perempuan, (name), berdiri di halte dengan sedikit gemetar. Rambutnya basah, meski payung kecil di tangannya mencoba melindunginya...