ⅩⅠⅩ - Italy

47 6 0
                                    

Michael tiba dengan pesawat malam itu, langsung menuju rumahnya di Jerman. Dengan langkah cepat, dia memasuki ruang tamu dan menemukan (Name) duduk di sofa, terlihat lebih tenang daripada yang dia bayangkan. Namun, ada rasa ketakutan yang masih membayang di matanya.

"(Name)..," panggil Michael, suaranya lembut namun tegas. Dia melangkah maju dan memeluk putrinya erat-erat. "kau baik-baik saja? apa dia melukaimu?."

"Aku baik-baik saja dad.." jawab (Name), berusaha tersenyum meski hatinya masih bergetar. Dia ingin menghindari semua rasa khawatir yang mungkin membuat ayahnya merasa tidak nyaman.

Michael menatap (Name) dengan penuh perhatian, mencermati perubahan yang terjadi dalam diri putrinya. "Aku sudah memutuskan. Kamu kan ikut aku ke Italia. ayo berkemas."

Namun, (Name) menggelengkan kepala. "Ayah, aku tidak ingin merepotkanmu. Aku baik-baik saja di sini. Lagipula, kamu punya pertandingan penting yang harus kau urus kan?"

"Dengar, saat ini tidak ada yang lebih penting selain dirimu," jawab Michael tegas. "Kau tidak perlu berpura-pura kuat (name). wajar kalau kau masih gelisah."

(Name) menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku akan berkemas."

"Biar kubantu."

Ayahnya tidak hanya datang untuk menjemputnya, tetapi juga mengingatkan bahwa dia selalu ada di sampingnya. Mereka berdua bercerita tentang latihan, pertandingan, dan hal-hal lucu yang terjadi di lapangan. Berusaha menghilangkan atmosfer negatif yang membuat mereka gelisah..

***

Setelah tiba di hotel mewah di Italia, Michael dan (Name) berjalan santai melalui lobi, menikmati pemandangan yang elegan. Michael tampak puas, sementara (Name) tetap tenang, lebih fokus pada pemikirannya sendiri. "Kamar kita ada pemandangan kota," Michael memecah kesunyian, "Juga kolam renang di atap. Bagus, kan?"

(Name) tersenyum tipis. "Bukan pilihan buruk," jawabnya sambil menghela napas ringan.

Mereka masuk ke lift, dan saat pintu terbuka di lantai mereka, Michael melemparkan pandangan reflektif.

Begitu sampai di kamar, (Name) meletakkan tasnya dengan rapi di samping meja, memperhatikan sekeliling dengan pandangan kritis.
"Aku suka sekali desain ruangan ini. Aku bisa betah di sini untuk beberapa hari."

Michael tertawa kecil. "Tentu saja, kau selalu punya selera tinggi."

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Michael membuka pintu, dan di sana berdiri salah satu rekan setimnya, Marco, seorang bek yang terkenal dengan selera humornya yang agak nyeleneh.

"Hei, Michael! Aku dengar kau baru saja kembali dan bawa teman hiburan ke hotel," katanya dengan nada menggoda, matanya tertuju pada (Name) yang masih berbaring di sofa. "Kamu tidak buang waktu ya, langsung cari hiburan malam?"

Michael terdiam sejenak, sementara (Name) duduk tegak di sofa, Mata (name) mendelik langsung mengetahui apa maksud perkataan pria tersebut.

"Hah? Marco, ini tidak seperti-

Marco tersenyum lebar, merasa yakin dengan opininya. "Iya tahu. kau tidak perlu menjelaskan, Michael. Setiap pria butuh sedikit waktu santai setelah perjalanan panjang."

"Maksud mu aku pelacur?! Aku bukan pelacur!" ucap (name) marah.

Marco tersentak, "Eh bukan?"

Michael memutar bola matanya, menatap Marco kesal, "Marco, perkenalkan... ini bukan teman hiburan. Ini (Name), anakku."

Marco tersenyum canggung. "Maaf, maaf. Senang bertemu denganmu, (Name). Maafkan kelakuan ku sebelumnya, aku benar-benar tidak tahu."

"Senang bertemu denganmu juga, yah tidak apa apa, itu hanya salah paham." jawab (Name) dengan tenang, sambil melihat Marco pergi. Setelah pintu tertutup, (Name) duduk di sofa dekat jendela.

Ia tidak terlalu memikirkan hal itu. Bagaimana pun juga (Name) memang memiliki tubuh yang bagus, Bentuk Tubuh ala jam pasir di tambah wajahnya yang cantik, membuat orang mengira dirinya kupu-kupu malam ketika berjalan dengan seorang pria. Bahkan ayahnya sendiri.

"Apa kau masih memikirkan kejadian itu?" Tanya Michael khawatir, "Mau pergi ke psikiater?"

(Name) duduk melamun, menatap keluar jendela ke pemandangan kota Italia yang menakjubkan. "Aku baik-baik saja dad, jangan terlalu memikirkan kejadian kemarin."

Michael duduk di sampingnya, diam sejenak sebelum berkata, "Aku tahu kau ingin mandiri, tapi jangan pernah lupa bahwa kau tidak perlu menghadapi semuanya sendirian."

(Name) menoleh, tatapannya melembut namun serius. "Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan kalau saatnya tiba, aku bisa berdiri sendiri. Tapi aku menghargai semua yang kau lakukan."

Michael tersenyum, merangkul pundaknya. "Dan aku akan selalu ada untuk mendukungmu, apapun yang terjadi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐑𝐞𝐭𝐫𝐨𝐯𝐚𝐢𝐥𝐥𝐞𝐬 ; 𝐊. 𝐌𝐢𝐜𝐡𝐚𝐞𝐥Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang