18

16 6 0
                                    

Yardan mengantarkan Yara sampai di depan panti asuhan, beruntungnya panas Yara hanya demam bisa. Yardan berharap dengan obat yang di beri dokter tadi, bisa menyembuhkan demamnya, beruntungnya demam itu tidak terlalu parah maka dari itu Yara masih bisa menahannya.

"Makasih, yah Kak Juna ... Udah bawa aku ke dokter, terus dianterin ke sini," tutur Yara.

"Iya, yang penting Yara harus sehat, makan yang teratur jangan jajan sembarangan juga, ngerti 'kan?"

"Iya, Kak." Yara mengagguk pelan.

Yardan tersenyum dan mengusap puncak kepala adik kecilnya. "Besok jangan dulu sekolah, yah. Kalau Yara udah enakkan baru masuk sekolah lagi, minta izin ke ibu angkat Yara ..."

"Apa boleh?"

"Iya, kalau Yara sakit terus sekolah, nanti gak fokus terus takutnya Yara kesakitan nahan demam. Jadi istirahat dulu, yah!"

"Iya, Yara bakal istirahat, biar pas sekolah bisa fokus belajarnya!"

"Nah, gitu itu baru adik abang." Yardan mencubit pipi tembem Yara. "Sana masuk, nanti di cariin sama ibu."

"Iya, Kak ... Aku masuk dulu, yah. Assalamualaikum!" Yara melambai sembari berlari ke arah rumah bertingkat itu.

Yardan menghela napas pelan, dia cukup khawatir dengan keadaan Yara saat ini. Walaupun umurnya terbilang masih anak-anak, dia selalu menahan rasa sakitnya, dia selalu tak berani untuk berbicara tentang rasa sakitnya. Yardan berharap adiknya sembuh dan sehat.

•••

"Hidupku sudah hancur!" ucap Juna penuh kekesalan.

"Kenapa cuma Yardan yang dapat kebahagiaan sekarang?"

"Keluarga hancur dan sekarang pertemanan hancur, hidupku kenapa hancur?" Air matanya menetes ke jalanan aspal jembatan penghubung antara kota dan pedesaan.

Air sungai di bawah sana cukup deras di sebabkan terjadinya hujan dari arah pedesaan. Hari ini mendung di tempat Juna berada, seakan langit pun ikut merasakan kesedihan.

Juna beranjak dan berbalik mengarah kepada pembatas jembatan. Pikirannya melayang, Yardan bisa saja bahagia dengan uang-uang itu. Sepertinya dia tak butuh kasih sayang keluarga karena dia sudah kenyang dengan kasih sayang orang tuanya yang tidak dia dapatkan adalah uang.

Juna puas dengan segala miliaran uang dari ayah dan ibunya, tetapi yang tidak ia dapatkan adalah kasih sayang dari keduanya.

"Rumah besar tanpa keharmonisan, rumah butut penuh dengan kebahagiaan." Juna mengusap air mata yang terus menetes.

"Kalau begitu kenapa aku tidak dilahirkan di keluarga Yardan?" Juna menjeda ucapannya, terasa sesak dalam dadanya. Ia tak bisa menahan rasa sakit ini.

"Mungkin untuk bisa bahagia harus diperjuangkan, tapi ... Apa keluargaku pantas diperjuangkan?"

Gerimis turun, berbarengan dengan bulir air mata Juna yang tanpa berhenti. Juna tidak bisa menampung masalah ini. Dirinya sudah mengikhlaskan Yardan untuk tetap di tubuhnya. Benar kata Reva biarkan saja Yardan hidup nyaman di sana, agar Juna bisa merasakan apa yang Yardan rasakan.

Juna sudah merasakannya dan dia tidak bisa bertahan, lantas dia mencengkram baja yang melintang di tepi jembatan. Dia ingin mengakhiri semua ini.

Bruk!

"Awas!" teriakan orang sekitar.

"Cepet bantuin!"

Mendengar keributan di belakangnya, Juna lantas berbalik lagi menghadap ke jalanan, di hadapannya sebuah mobil menabrak truk besar dari belakang. Juna menyipitkan matanya, sepertinya mengenal plat nomor mobil sedan itu.

Cermin Terbalik 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang