"Wah! Bagus tas-nya! Yes! Sekarang aku punya tas ini!" seru Yara sangat antusias dengan hadiah yang dibelikan oleh Juna.
"Wah, jadi makin cantik Yara pakai tas itu," ucap Reva memuji kebahagiaan Yara.
Sesuai janji Juna, dia akan memberikan tas ke sukaan Yara. Akhirnya dia bisa membelinya walaupun saat ini uang simpanannya habis, tas itu tidak seharga tas-tas di rumah Juna yang asli. Namun, itu saja bisa membuat Yara bahagia.
"Makasih, Abang!" Yara memeluk Juna erat dengan tas yang sudah melekat di punggung kecil Yara.
"Iya, sama-sama ... Nanti kalau sekolah lagi Yara harus rajin belajar, yah?"
Yara mengangguk antusias, di sisi lain Yardan mati-matian agar tidak menangis. Melihat wajah ceria Yara kembali membuat Yardan teringat saat-saat bersama bapak dulu. Yardan sangat merindukan itu.
"Bilang makasih juga ke bang Juna, dia juga yang bantuin Abang beli tas ini!" titah Juna ke pada Yara.
Yara lantas menatap Yardan dengan wajah berseri-seri. "Makasih, Abang Juna!" Yara memeluk Yardan, lantas Yardan membalas dekapan Yara. Sesak memenuhi dadanya dia tak bisa menahan tangisnya, yang sedari ia tahan akhirnya tumpah juga.
"Abang Juna kenapa menangis?" tanya Yara menatap Yardan.
Yardan mengusap air mata di pipinya. "Enggak, Abang cuman tiba-tiba ke inget adik abang," tuturnya.
Mulut Yara berbentuk 'o', lantas jari tangannya mengusap lembut pipi Yardan. "Emangnya kenapa adiknya Abang Juna?"
Yardan menjauhkan tangan Yara di hadapannya, lantas mengembuskan napas perlahan. Rasa sesak di jantungnya terasa berat seakan oksigen saja sulit keluar masuk.
"Adik abang sakit," jawab Yardan.
"Sama kayak Yara?" tanya Yara.
Yardan mengangguk lemah, sejujurnya dia tidak bisa menahan tangisnya sampai tenggorokannya terasa sakit.
"Bang Juna jangan sedih, Yara do'akan semoga adik bang Juna cepat sembuh, Aamiin ..." Yara mengangkat tangannya berdo'a.
"Aamiin ..." Yardan mengikuti.
Tak terasa, Reva yang menyaksikan itu meneteskan air matanya. Entah mengapa kepolosan Yara itu membuat suasana semakin mengharu biru. Yardan harus kuat untuk bisa menemani Yara.
•••
Cakrawala sudah menampakkan senjanya, Yardan dan juga Reva tidak bisa berlama-lama di rumah Pelita Harapan. Mereka harus pulang ke rumah masing-masing.
Reva menendang batu-batu kecil di jalanan gang dengan kepala tertunduk. "Yardan, kamu ada ide buat bisa ke sana tanpa ada orang yang curiga?"
Yardan menatap Reva dengan kerenyit di dahinya. Tak lama Yardan mengangguk-ngagguk paham. Maksud Reva tentang masalah cermin terbalik itu.
"Aku belum mendapatkan ide, Re." Yardan menjeda. "Kamu ada saran tidak?"
Reva mengembuskan napas berat. "Aku juga bingung."
Yardan pun mengembuskan napas berat. "Tinggal tersisa seminggu lagi, itu pun kalau berhasil."
"Pasti berhasil, Dan. Kakek itu kan udah ngasih petunjuk, jadi yakinlah itu akan berhasil."
"Iya, kita gak boleh nyerah!" Yardan bertekad.
"Iya, bagus aku suka Yardan kayak gini." Reva memberi dua jempol untuk Yardan.
"Tapi, btw ... Gimana keseharian kamu di rumah? Aku yakin pasti gak bakalan mudah, apalagi sebentar lagi bakal ujian kelas sembilan."
Wajah Yardan tiba-tiba murung. Reva orang yang mengerti, dia selalu tahu kesusahan Yardan seperti apa. Di saat ia ingin memendam sendiri, Reva selalu mengerti tanpa Yardan bercerita.
"Iya, aku kesulitan, tapi satu hal yang aku mengerti di rumah bang Juna," ungkap Yardan.
"Maksudnya?" tanya Reva penasaran, selama ini Yardan menemukan apa?
"Bang Juna itu, punya orang tua lengkap, tapi dia itu kesepian. Dia punya segalanya tapi tidak dengan kasih sayang. Orang tuanya peduli tapi tidak tahu apa yang dibutuhkan bang Juna."
"Bang Juna itu banyak uang. Di dompetnya selalu ada aja yang nyelipin uang di sana. Hampir setiap pagi aku selalu menemukan uang seratus ribuan di dompet. Sepertinya dompet itu ditaruh di sana khusus buat uang jajan bang Juna," jelas Yardan.
"Kalau dia punya uang jajan yang banyak, kenapa dia harus malak?" tanya Reva dan tak sadar tangannya terkepal.
"Untuk bersenang-senang."
"Kok, kamu bisa nyimpulin gitu?" tanya Reva semakin bingung.
"Mungkin nih, ya. Anak yang kurang perhatian orang tua akan melakukan segara cara biar bisa diperhatiin orang lain. Secara bang Juna mungkin aja udah beberapa kali masuk BK dan pasti manggil orang tuanya. Kasarnya sih, bisa disebut caper mungkin, yah."
Reva mengangguk-ngagguk dengan tangan terlipat di dadanya. "Bisa jadi, masuk akal juga. Tapi sampe segitunya, yah. Dia kan nyakitin orang lain."
"Namanya senang-senang."
Reva melirik Yardan dengan mata menyipit. "Kamu udah jadi pemilik tubuh itu, yah? Kok, tahu semua alasan bang Juna melakukan itu."
Yardan tertawa terbahak. Reva pun baru kali ini melihat Yardan tertawa sekencang itu. "Mungkin yah, aku bisa menyesuaikan sama tubuh ini."
Reva terkekeh sambil menunju tangan Yardan dengan pelan. "Kamu, tuh yah ... Awas aja kalau kamu ikutan kayak bang Juna."
"Jelas, gaklah. Aku tahu dibully itu gak enak, makanya aku gak mau membully."
•••
Yardan sampai di pekarangan rumahnya, terlihat dua pasangan suami-istri. Ibunya Juna masih belum sembuh kakinya cukup parah hingga kesulitan untuk berjalan. Mau tak mau Shinta harus kembali belajar berjalan lagi, dengan di bantu oleh suaminya. Pemandangan indah. Kenapa mereka baru harmonis sekarang?
Mendengar gerbang terbuka, Arya menoleh ke pada Yardan. Pandangan mereka saling bertubrukan. "Kau sudah pulang?!" teriak Ayahnya Juna.
Yardan tersenyum. "Ya, barusan."
"Juna, mama baru belajar masak, makan, yah! Jangan ngeledek Mama kalau masakannya gak enak," teriak Shinta di sela-sela berusaha untuk melangkah.
"Kenapa mama masak saat mama gak bisa berdiri?" tanya Yardan masih di jarak cukup jauh dari orang tuanya.
"Mama cuman bantu cuci sayurnya, Nak! Di bantuin sama bi Esmeralda," balas Shinta.
Arya mengembuskan napas. "Ma, itu bukan mama yang masak, tapi mama yang bantuin si Bi Esme."
Yardan terkekeh mendengar penuturan Arya, Yardan tahu ibunya Juna ini tidak bisa masak. Setidaknya perkembangan yang bagus karena Shinta mau berada lama di dapur.
"Ya, udah aku makan!" tanpa menunggu respons kedua orang tuanya, Yardan langsung ke dapur dan membuka tudung saji. Perutnya sudah meronta-ronta ingin di isi.
Di pekarangan rumah pasangan itu masih berdebat, tentang mana yang benar, mama yang memasak atau hanya membantu Bi Esmeralda.
"Ya, sama aja 'kan, Pah. Mama masak bareng Bi," ucapnya teguh atas ucapannya.
"Yang bener, mama bantuin si bibi, yang banyak aktivitas memasak bibi, mama cuma nyuci sayurannya," balas Arya tak mau kalah juga.
"Iya, berarti sama aja 'kan, mama termasuk yang berpartisipasi memasak walaupun cuman nyuci sayur doang."
Arya mengembuskan napas berat, perdebatan ini memang tidak akan pernah selesai. Bagaimanapun Shinta ini tidak bisa kalah debat dengan Arya.
"Sejak kapan, wanita terpintar di Indonesia, IQ-nya menurun?" tutur Arya.
TBC
07/07/23( ◜‿◝ )♡
![](https://img.wattpad.com/cover/318574485-288-k444969.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Terbalik 2
Roman pour Adolescents[End](completed) #2 Teenfintion 25/02/23 #3 tentlit 27/05/23 Gara-gara cermin misterius itu, Juna harus terjebak di tubuh adik kelasnya yang cupu dan kucel. yang paling dia tidak terima adalah dia harus hidup seperti orang miskin dan sengsara. Jiwa...