Bab 11 : Waktu Bersama

5 4 0
                                        

"Pasti lo mau ngomongin tentang Sanica dan Ailette?" tebak Angela, sementara gadis itu, Kinan, hanya mengangguk sembari bertopang dagu.

"Lo gak ada jeranya ya," celetuk Riana berbisik.

"Ya gimana ya ... Gue emang gak pernah suka sama Ailette, dia itu cuma perempuan yang haus. Disaat perhatian yang lain teralihkan darinya, ia pasti ngelakuin hal untuk kembali mendapat perhatian," jawab Kinan.

Riana mengangguk-nganggukkan kepala, setuju dengan ucapannya.

"Lo bener. Sekarangkan temennya, si Sanica, lagi jadi pusat perhatian karena perubahan. Pasti sebentar lagi ada kejadian," sambung Riana.

Ketiganya terus membicarakan tentang apa yang akan Ailette perbuat kali ini, sementara gadis yang menjadi perbincangan memilih diam menguping dari balik tembok tanpa berniat ikut campur seperti waktu itu.

"Sedang apa kau berdiam diri si sini, Ailette?"

Gadia itu menoleh, tersenyum lebar saat mengetahui siapa yang datang. Tidak lain dan tidak bukan adalah Sanica.

"Ailie hanya sedang menunggu Sanica! Ayo kita pulang," ajak Ailette menggandeng lengan Sanica dan keduanya pergi meninggalkan area sekolah.

Di sinilah mereka saat ini, bioskop.Keduanya berjanji untuk pergi menonton setelah pulang sekolah.

"Sanica ingin menonton apa?" tanya Ailette menatap deretan poster-poster film.

Sanica tampak berpikir sejenak, menunjuk sebuah poster film  horor yang sedang ramai. "Bagaimana dengan ini?"

"Boleh."

Sanica mengangguk, berjalan untuk memesan tiket sedangkan Ailette memesan popcorn dan minum untuk mereka.

Karena film sudah hampir dimulai, mereka berdua segera mencari kursi dan duduk manis menunggu.

"Karamel dan soda?" tawar Ailette menyerahkan popcorm karamel dan minuman soda kepadanya.

Sanica tertawa menerimanya.

Film dimulai, mereka menonton dengan serius. Setelah menonton mereka berjalan-jalan di dalam mal. Mulai dari toko buku, hingga toko pakaian mereka jelajahi hanya untuk melihat-lihat.

Setelah puas berkeliling, mereka memutuskan untuk mengisi perut di salah satu tempat makan yang masih berada di dalam area mal.

"Sanica, Ailie ke kamar mandi dulu ya," pamit Ailette beranjak dari kursi.

"Cepat ya."

Ailette mengangguk. Sebenarnya ia hanya ingin mencuci tangan dan kembali secepatnya. Tapi saat hendak kembali, tanpa sengaja ia melihat dua orang laki-laki berseram abu sepertinya mendekati Sanica.

Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya mereka berdua seperti memaksanya dan Sanica terus menerus menolak.

Setelah penolakan yang kesekian, kedua remaja itu pergi meninggalkan Sanica dan ia memutuskan untuk menghampirinya.

"Ailie ...."

"Siapa mereka?"

Sanica menggelengkan pelan. "Orang iseng yang maksa gabung. Aku sudah menolaknya berkali-kali tapi mereka tetap memaksa, bahkan memintaku untuk memberikan nomor ponsel pada mereka."

"Woah, Sanica. Ternyata di luar sekolah pun Sanica tetap populer ya," ledek Ailette tersenyum jahil.

"Hentikan, Ailie. Justru aku merasa risih, sangat tidak nyaman menjadi pusat perhatian," ujar Sanica membuang napas pelan, lelah karena terus-terusan diperlakukan seperti itu.

Ailette menundukkan pandangan, membuat Sanica khawatir dengan perubahan sikap sahabatnya itu.

"Ailie?"

"Bukannya enak jadi pusat perhatian? Semua orang melempar pujian, diperhatikan oleh banyak orang," ujar Ailette menatap Sanica.

"Aku tidak merasa seperti itu, justru rasanya menyesakkan," jawab Sanica.

"Begitukah menurutmu?"

Menyadari keanehan pada Ailette, Sanica menyentuh bahunya dengan raut wajah khawatir. "Hei, ada apa?"

Ailette menggeleng, menepis tangan Sanica dari pundaknya dengan tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Mungkin saja wajar jika Sanica menganggapnya seperti itu karena tidak terbiasa diperhatikan."

"Kamu benar, Ailie. Lebih baik jika mereka tidak menganggapku ada, seperti biasa. Dibanding mendapat perhatian karena memoles wajah yang mereka senangi, lalu mengalihkan perhatian saat mulai merasa bosan."

Ailette tidak menjawab, begitu pun dengan Sanica yang tidak melanjutkan percakapan. Mereka berdua memilih diam, hanyut dalam masing-masing pikiran hingga pesanan mereka tiba.

Sayang sekali, mereka jarang menghabiskan waktu bersama selain di sekolah. Tapi waktu mereka saat ini justru berakhir buruk karena perbincangan yang sensitif bagi mereka berdua.

Bukannya tidak paham, justru Sanica sangat mengerti alasan Ailette sangat-sangat menyukai saat menjadi pusat perhatian. Dan ia tahu apa yang kini sahabatnya rasakan dan perbuatan yanh dilakukannya. Tapi Sanica memilih bungkam, diam dengan menutup matanya sendiri. Entah sampai kapan ia harus bersikap seolah dirinya buta dan tuli.

MINE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang