21

2 0 0
                                    

"Hahahaha! Sialan!"

Judith tertawa lepas, wajahnya tidak menunjukkan kebahagian, melainkan ironi yang mencabik – cabik realitanya.

Mario menghela napas, sedangkan Camilla masih bersembunyi di balik Mario.

"Sudah! Kalian lanjutkan saja!"

Judith keluar dair kamar tersebut, membanting pintu-sekeras yang ia bisa, pengganti Mario yang ingin ia hajar setengah mati.

Akal sehat masih memegang Judith, menyuruhnya untuk tidak melakukan kekerasan meski ia sendiri ingin membunuh keduanya, menikam ribuan kali menggunakan pedang berkarat. Yang menimbulkan rasa ngilu serta sensasi dikoyak yang lebih sadis.

Judith masih memegang akal sehatnya, sekalipun hatinya sudah menggelepar meminta pembalasan.

***

Judith memandang buku yang baru saja ia beli bersama dengan Mario. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore dan kedua remaja itu belum ingin pulang.

"Hari belum berakhir, jadi.... Mau kemana habis ini?" tanya Mario

"Um... Burger King? Aku lapar." Jawab Judith

Masih dengan menenteng tas dan mengenakan seragam sekolah. Mario dan Judith berjalan – jalan di kota sebelum pulang ke rumah masing – masing.

Judith tidak ingin pulang tepat waktu. Rumah sepulang sekolah bukan sesuatu yang ia sukai. Rumah setelah orang itu tidur atau teler adalah yang terbaik!

"Baru kemarin kau bilang tidak ingin makan makanan cepat saji," komentar Mario, mengikuti Judith yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju halte.

"Perempuan itu tidak mudah ditebak!" sahut Judith meletakkan satu telunjukknya di depan bibir ketika Mario duduk di bangku sebelahnya.

"Dasar!"

Judith bersyukur Mario mau menemaninya jalan – jalan. Padahal Judith tahu kalau Mario pasti sudah sangat lelah dengan jadwal sekolah yang lebih padat dibandingkan Judith. Tapi hanya Mario satu – satunya anak yang tersisa di sekolah yang ia kenal. Camilla, Kevin dan Alex sduah terlebih dahulu pulang.

Mario pulang terlambat karena ia harus mengurus sesuatu di klubnya. Dan Judith terus mengundur – undur waktunya untuk meninggalkan sekolah.

Di saat seperti ini Judith menyesal kenapa ia memilki satu klub? Itu pun klub yang sangat jarang mengadakan pertemuan.

Judith rasa ia harus Menemukan kesibukan lain yang membuatnya bisa menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah.

Apa Judith kerja sambilan saja ya?

Selain bisa menghabiskan waktu, kerja sambilan juga menghasilkan uang. Tidak terlalu buruk juga.

***

"Kau mau kerja sambilan?"

Judith dan Mario duduk di bangku taman belakang sekolah. Sore menuju petang, Mario dengan seragam olahraganya yang basah oleh keringat serta judith yang menenteng tas gendongnya.

Sebenarnya Judith ingin membicarakan ini dengan Camilla, namun gadis itu sedang ada pemotretan. Karena masih baru di dunia modeling jadi Camilla tidak mempunyai banyak waktu luang.

"Ya! Kau bisa membantuku kan Mario? Kau punya kenalan?"

Judith bertanya dengan sorot mata yang berbinar - binar.

"Kau yakin? setahuku kau sedang tidak membutuhkan uang banyak,"

"Aku hanya iseng saja, aku sedang bosan. semua orang sibuk. Bahkan kau juga! Setelah ini kau harus kembali ke lapangan bukan?"

"Maaf..." uap Mario, ia merasa bersalah karena membuat Judith merasa ditinggalkan.

Wajar saja, sejak tahun ajaran baru kemarin masing - masing dari mereka mulai dikepung oleh kesibukan. Tidak banyak waktu untuk mereka nongkrong seperti sebelumnya.

"Tidak apa - apa, lagi pula masih ada liburan musim panas dan festival. Ada Skype juga, kita masih bisa bertemu walau virtual."

Mario tertawa, "Kau benar juga! Nanti malam akan kukirim infonya ok!'

"Terima kasih Mario!" ucap Judith sambil memeluk lelaki itu.

***


Mario, Mario, Mario.

Judith menendang angin, menumpahkan rasa kesal. Padahal ia sangat yakin kalau Mario bukan tipe orang yang akan berselingkuh.

Kepribadian lelaki itu sangat sempurna, Mario selalu meluangkan waktu untuk dirinya setiap Judith membutuhkan. Mario selalu mendengarkan tiap keluh kesalnya.

Mario juga tidak pernah absen dari kencan mereka, sesibuk apapun lelaki itu pasti datang. Lengkap dengan seikat bunga atau sebatang cokelat.

"Hiks...."

Setelah berjalan lima langkah, Judith duduk di depan pintu salah satu kamar.

Rasa amarahnya kini berganti menjadi rasa perih, sakit yang menyedihkan.

Baiklah, Judith hanya akan menangis sebentar, hanya satu menit. Satu menit!

??!!

Setelah menangis lebih dari satu menit, Judith merasa pantatnya basah.

Bukankah seharusnya hanya mata dan wajahnya saja yang basah?

Judith bangun dari duduknya, kini logika langsung mengambil alih.

Darah!

Judith melihat darah yang mengalir dari sela pintu. Dengan perasaan penasaran yang bercampur takut, ia membuka pintu kamar.

"Kevin!!"

Sang PengadilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang