25

3 1 0
                                    

Camilla melihat tampilan dirinya di depan cermin. Rambut ok! make up ok! baju ok! senyuman ok! 

Camilla merasa puas dengan penampilannya yang selalu tampak fresh dan modis. Tentu saja ini bukan tanpa usaha, Camilla sudah melakukan diet ketat dari remaja. Ia selalu update fashion, di luar pekerjaannya sebagai model.

Menjadi trend itu sendiri, adalah salah satu cita - cita Camilla.

Kedua orang tuanya mendukung apapun kegiatan Camilla, apalagi modelling.

"Aku masuk show di Swiss bulan depan Dad."

"Bagus, kalau bisa tingkatkan,"

"HM... Baik."

"Dad menyayangimu,"

"Aku sayang Dad juga,"

Tuuuut

Camilla memperhatikan ponsel di tangannya. Ia sudah mengabari ayahnya dan tinggal mengabari ibunya saja.

Kedua orang tua Camilla selalu sibuk, dan hampir tidak ada waktu untuk berkumpul. Namun Camilla tak mempermasalahkan itu, toh kebutuhannya sudah tercukupi, ada maid dan butler yang mengurus pekerjaan rumah dan menyiapkan kebutuhan dirinya.

Camilla selalu bisa mencari hiburan dikala ia bosan dan ia bisa santai seharian jika sedang malas.

Tidak ada beban di hidupnya, Camilla hanya tinggal mengerjakan apa yang sepatutnya i harus kerjakan.

Camilla menatap meja makan yang panjang, ada banyak makanan yang tersaji, namun hanya ada satu orang yang duduk di sini.

Hanya dirinya, seorang.

***

"Astaga! Kau lihat itu? Itu senior Dave!!"

"AAAA!!! SENIOR DAVE!!!"

siswi perempuan mulai berteriak saat pemuda bernama Dave mendriblle bola menuju ke ring lawan. Gayanya saat menghindar dari bloking, terlihat keren di mata para siswi.

"Kyaaa!! Senior!!!"

Duh, lama - lama mendengar teriakan anak perempuan yang sedang histeris-melihat pangeran rupawan mereka beraksi membuat Camilla pusing.

Memang kenapa sih? Dia kan cuma tampan dan keren, biasa saja!

"Kenapa mukamu masam begitu?" Tanya Ilyas yang duduk di samping Camilla.

"Telingaku hanya sakit," jawab Camilla "teriakan mereka cukup kuat untuk meratakan sebuah bangunan!"

Ilyas tertawa mendengar jawaban Camilla yang menurutnya sangat lucu sekaligus berlebihan.

"Hah... Kukira kau cemberut karena bff mu sedang sakit,"

"Tidak, tidak, Judith ditabrak kucing pun aku tidak akan bersedih lama,"

"Ish! Kau ini!"

Ilyas menoyor Camilla.

"Memang apa bagusnya Dave? Dia cuma makhluk tampan, dan di dunia ini ada banyak pria tampan selain dirinya,"

"Ckckck memang ya, sesama orang cantik dan tampan, kalian selalu biasa saja melihat yang sejenis," ucap Ilyas sambil berdecak lidah.

"Kenapa? Aku benar kan?"

"Benar sih, tapi Dave itu selain tampan ia juga pacar idaman setiap siswi! Ada banyak perempuan yang berusaha untuk menaklukan hatinya, namun semua gagal!"

"Jadi itu sebabnya dia terkenal?"

"Tentu saja beb!"

Ilyas lalu menarik Camilla ke sisi lapangan lain, tempat yang cukup adem serta agak jauh dari sorak Sorai pendukung Dave.

***

Susah didapatkan?

Camilla rasa Ilyas terlalu mengada - Ngada saat mengatakan bahwa Dave sangat susah untuk diajak pacaran.

Buktinya? Kini ia dan Dave berada di satu meja di dalam sebuah kafe yang sedang trend akhir - akhir ini.

Tidak susah untuk mengajak Dave berkencan, tinggal basa basi biasa, pendekatan yang biasa, lalu voila! Kencan di akhir pekan beberapa kali dalam satu bulan!

Camilla tidak tahu, apakah orang - orang yang gagal berkencan dengan Dave adalah orang yang bodoh atau tidak?

Kenapa sih mendekati seorang remaja laki - laki begitu susah?

"Camilla, ada sesuatu yang ingin kukatakan sejak lama...."

Dave lalu berlutut dengan satu kaki di depan Camilla. Salah satu pelayan kafe datang membawa bunga dan memberikannya pada Dave.

"Maukah kau menjadi pacarku?"

***

Menaklukan laki - laki, entah mengapa menjadi hobi tersendiri bagi Camilla.

Ia selalu sangsi dengan rumor tentang lelaki. Sulit didekati lah, setia lah, buaya lah.

Entah kenapa Camilla selalu tertantang untuk terjun langsung memeriksa rumor - rumor itu.

Rumor tentang hubungan pria dan wanita, selalu membuatnya tertantang. Seperti menaiki wahana yang belum pernah Camilla coba.

Dan Camilla pikir ia akan berhenti setelah satu dua kali mencoba.

Namun rasa tertantang itu selalu muncul, seakan sudah menjadi satu dengan dirinya.

Dan Camilla tidak pernah menginjak rem, atau mungkin ia tidak memiliki rem?

Sang PengadilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang