28

2 1 0
                                    

Judith berhasil sampai di lantai pertama, dengan cepat ia mengambil salah satu botol alkohol yang berserakan.

Ya, Judith berharap kalau cara ini berhasil, semoga ia bisa keluar dari mimpi buruk ini!

Tinggal mengakhiri permainan ini dan dia akan selamat!

Dengan tangan yang bergetar dan keringat dingin yang membanjiri tubuhnya. Judith duduk bersimpuh di samping meja. Ia tidak peduli dengan kakinya yang terkena goresan-pecahan beling botol alkohol yang sebelumnya pecah karena kedatangan monster petama kalinya.

"Dengan ini kunyatakan pengadilan ini berakhir!" ucap Judith sambil mengetuk botol alkohol itu tiga kali di atas meja.

Lalu Judith luruh ke lantai, mengatur napasnya yang tidak beraturan. Judith merasa ia menggunakan semua adrenalin yang ia miliki. Suara hujan serta petir yang tadi menemaninya berlahan mulai lenyap.

Apa semuanya sudah berakhir?

Judith melangah ke pintu keluar, lalu membukanya.

Terbuka!

Pintu yang semalam terkunci rapat kini terbuka!

Jantung Judith berdetak cepat dan keras, sisa hujan masih tersisa, namun langit benar – benar cerah sekarang.

Judith melihat sekeliling sambil melangkah keluar villa. Ia tidak melihat monster itu di mana pun!

Akhirnya!

Akhirnya!

Judith bersorak dalam hati, dengan langkah cepat ia berjalan menuju gerbang. Ia juga dapat melihat semburat jingga matahari yang menyapa malu – malu dari ufuk timur.

"Judith."

Langkah cepat Judith terhenti, ia sangat mengenal suara itu. Suara yang seharusnya tidak bisa ia dengar saat ini.

Judith menoleh, dan ia mendapati Lily kecil dengan rambutnya yang panjang sedang tersenyum padanya, ia menggunakan gaun one piece berwarna putih, dan jangan lupakan tubuhnya yang basah dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Lily... kenapa kau?"

"Permainannya belum selesai lho!"

Ucapan Lily terdengar ramah, berbeda dengan perasaan Judith yang ketar ketir.

Ia yakin Lily yang dilihatnya terakhir kali adalah gadis berusia 21 tahun. Bukan anak SD yang masih bocah.

Pasti... Pasti dia monster!

"Diam! Kau bukan Lily!" ucap Judith

Lily menelengkan kepala, memasang wajah yang heran, lalu tertawa hebat.

"Judith, bukankah aku yang paling tahu kalau aku yang paling hebat, benar kan aunty?"

***

Judith memperhatikan Lily, teman sebangkunya itu sedang asik membaca buku dongeng yang ia dapat sebagai hadiah ulang tahun.

Judith menghela napas panjang duduk di samping Lily.

"Lily aku jadi ingin sepertimu," ucap Judith tiba – tiba.

Lily menoleh, menatap Judith, yang dimatanya terlihat sedang tidak bersemangat, tidak seperti hari – hari sebelumnya.

"Kenapa?" tanya Lily

Dia bingung, kenapa anak sekece Judith ingin sepertinya? Padahal di matanya Judith itu sempurna, baik hati, ramah pada siapapun, cantik dan pintar.

Tidak seperti Lily yang pemalu, dan kurang percaya diri. Judith bagaikan seorang putri raja.

Berbeda dengan Lily, Judith yang mendengar pertanyaan Lily tertegun. Ia keceplosan mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Tidak – tidak apa," jawab Judith

Tidak mungkin bukan dia mengatakan kalau Lily lebih baik darinya? Lily pasti tidak terima dan mengatakan bahwa Judith lebih baik. Karena kadang kala Lily memuju Judith, dan mengatakan bahwa Judith itu orang terbaik yang dikenalnya.

Namun Lily tidak tahu, kalau di mata ibunya, Judith bukanlah apa – apa.

Bel berbunyi dan anak – anak yang bermain di luar kembali masuk ke dalam kelas.

"Pertama – tama mari kita ucapkan selamat kepada salah satu teman kita, Lily Armisael, karena prakarya sainsnya berhasil menjadi pemenang tahun ini!"

Tepuk tangan langsung memenuhi kelas, Lily kaget sekaligus senang, ia tersenyum malu – malu dan mengatakan terima kasih dengan nada yang rendah.

"Selamat Lily!"

Judith, tentu saja sebagai temannya ia memberi selamat pada Lily, di saat itu ia merasakan dua perasaan sekaligus, senang-dan benci.

***

"HUWAAA!!!"

Judith dan teman – teman sekelasnya sedang berjalan menuju kelas mereka dari ruang musik ketika Arnette berteriak begitu masuk ke dalam kelas.

"Kenapa Ann?"

"I-itu... karanganku!"

Anak – anak sekelas mulai mengerubungi meja Arnette, mereka penasaran apa yang menyebabkan dia berteriak.

Karangan milik Arnette yang harus disetor untuk festival bahasa bulan depan tampak sudah hancur karena dirobek – robek. Padahal Arnette tidak mengetik karangan itu, ia menulisnya sendiri!

"KAU! KAU PASTI YANG MELAKUKANNYA!" tuduh Arnette sambil menunjuk Lily

Lily yang dituduh seperti itu pun bingung sekaligus kaget.

"A-aku ti-tidak melakukannya!"

"Halah! Bilang saja kau iri karena Ms Shans memilihku untuk mewakili sekolah dibandingkan kau! Aku ingat raut wajahmu saat itu!"

"Ta-tapi-"

"Memangnya kau punya bukti bahwa Lily pelakunya?!" kata Judith membela Lily yang ketakutan karena dituduh oleh Arnette.

"Tadi Lily sempat izin keluar untuk mengambil partiturnya yang tertinggal! Pasti saat itu!"

Suasana kelas menjadi gaduh, masing – masing membentuk kubu, ada yang percaya kalau Lily pelakunya, ada juga yang percaya kalau Lily hanya kambing hitam, dan tentu saja kubu yang tidak memihak siapa pun.

"Bagaimana kalau kita bermain sang pengadil untuk menemukan pelakunya?" ujar salah satu anak yang ada di kelas.

Saat itu permainan sang pengadil sangat populer, selain sebagai permainan juga sebagai urban legend-dikatakan arwah dari si pengadil selalu hadir ketika permainan dimulai.

Ujung pena yang dijadikan sebagai penentu menunjuk ke arah Lily. Padahal orang yang merobek karangan itu adalah Judith.

***

Judith terkejut melihat sosok yang tiba - tiba saja ada di belakang Lily.

"Kau ingat kan permainan itu? Permainan yang menyebabkan aku dibuli selama 2 tahun? Kini sebaiknya kau bersiap karena kali ini kau yang diadili!"

Sosok yang berada di belakang Lily langsung menebas kepala Judith dengan sekali percobaan. Judith tidak bisa bergerak karena terkejut, dengan apa yang diucapkan oleh Lily dan sosok yang ada di belakangnya.

Taylor, ibu kandung Judith.

Sang PengadilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang