You Belong in My Bed 3

99.8K 869 2
                                    

Selama sebulan Om Gavin tinggal di rumah, selama itu pula dia selalu tidur di kamarku. Om Gavin begitu gagah dan perkasa. Dia memberikanku pengalaman seks menggelora. Malam-malam penuh gairah kuhabiskan bersama Om Gavin. Hubungan itu hanya berhenti ketika aku menstruasi. Itu pun, Om Gavin tidak sepenuhnya berhenti. Aku memanjakan penisnya di mulut, dan Om Gavin menumpahkan cairannya di sana.

Rutinitas yang berjalan sebulan belakangan memberikan perubahan yang berarti bagiku. Aku enggak bisa tidur tanpa Om Gavin. Rasanya ada yang kurang tanpa merasakan tubuh Om Gavin.

Seperti dua hari belakangan. Om Gavin berada di Bandung. Kalau enggak ada kuliah, mungkin aku sudah menyusul.

Selama dua hari ini aku cuma bisa berbalas chat dengan Om Gavin. Sesekali aku mengirim foto telanjang, yang dibalas Om Gavin dengan foto dirinya.

Malam pertama, aku dan Om Gavin phone sex.

Malam kedua, kami saling memuaskan diri sendiri saat video call.

Meski puas, rasanya ada yang kurang. Penis Om Gavin menetapkan standar baru. Dia membuatku paham seperti apa orgasme seharusnya.

Seharusnya aku memanfaatkan waktu dua hari ini untuk membiasakan diri karena Om Gavin enggak selamanya di sini. Waktu tinggalnya di Jakarta semakin sedikit. Aku pernah enggak sengaja mendengarnya ngobrol sama Mama. Katanya, kemungkinan dia akan kembali ke Sydney.

Om Gavin sempat mengajakku bicara, tapi aku menghindar. Aku cuma mau menikmati kebersamaan dengan Om Gavin.

Hari ini Om Gavin harusnya pulang. Aku sudah enggak sabar mau ketemu. Mama sampai bertanya karena aku enggak bisa diam.

Begitu mobil Om Gavin memasuki garasi, aku langsung menemuinya. Aku memeluk punggungnya sewaktu Om Gavin menutup pintu mobil.

"Akhirnya Om pulang juga," ujarku.

Om Gavin membalikkan tubuh. Wajahnya tampak lelah. Cambangnya yang biasanya rapi, kini berantakan.

"Kangen?" Godanya.

Aku mengangguk, dengan sengaja menempelkan tubuhku ke tubuhnya. Om Gavin pasti bisa merasakan putingku yang menegang.

"Om capek banget, ya? Mau aku mandiin?"

Seringai di wajahnya membuatku bergidik. "Buat kamu, Om enggak mungkin capek. Tapi, Om enggak keberatan dimandiin."

Aku menarik tangan Om Gavin ke kamarku. Dia meletakkan tas laptop di meja, lalu menuju kamar mandi. Aku membantunya membuka pakaian sampai Om Gavin berdiri telanjang di depanku. Dalam keadaan belum siap saja, penisnya sudah besar.

"Kontolnya Eila," ujarku manja.

Om Gavin tertawa. "Sejak kapan kontol Om jadi punya kamu."

Aku mendongak tersenyum. "Sejak pertama aku ngerasain nikmatnya kontol Om."

"Kalau begitu, ini susu siapa?" Tanyanya sambil meremas payudaraku yang masih terbungkus tank top.

Aku membuka tank top hingga bertelanjang dada di depannya. "Susu Om," sahutku.

Om Gavin menatapku dengan intens. "Memek Om mana?"

Aku menurunkan celana dan membukanya. Aku pun berdiri telanjang di depannya.

"Ini. Kangen banget, udah dua hari enggak ngerasain kontol."

Om Gavin terkekeh. Dia mendorongku menuju ke bawah shower.

"Om kotor banget sejak pulang dari Bandung. Katanya mau mandiin?"

Aku menyalakan pancuran. Di bawah guyuran air hangat, aku mengusap kulit Om Gavin. Tubuhnya begitu kekar. Otot-ototnya membuatku bergidik. Selama ini aku enggak suka laki-laki berbulu, tapi Om Gavin beda. Bulu di tubuhnya membuatnya makin maskulin. Aku menyabuni dadanya yang bidang dan berambut. Tanganku menuruni perutnya yang datar dan keras karena otot. Tidak ada lemak di tubuhnya. Aku menyusuri rambut di perutnya hingga menuju kejantanannya. Penisnya yang berbulu justru membuatku terangsang.

Woman's NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang