Dear Teacher 1

68.5K 857 46
                                    

"Pak Aiman?"

Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku. Aku berada di dalam café ketika mataku tertumbuk pada sosok yang familiar, tapi sudah lama tidak bertemu. Buru-buru aku membereskan buku dan semua bawaanku, menyambar gelas kopi yang masih penuh, lalu bergegas keluar café.

Jalanan Brooklyn cukup ramai sore ini. Sedang musim liburan, jadi terasa begitu padat.

Aku menjulurkan leher dan mencari sosok Pak Aiman. Rasanya mustahil bertemu dengan mantan guruku itu di Brooklyn.

Saat melihatnya lagi, aku sengaja berlari untuk menyusulnya.

"Pak Aiman?" panggilku.

Sosok tersebut berhenti dan berbalik. Senyumku refleks terkembang saat berada di hadapannya. Aku tidak salah orang. Yang berdiri di hadapanku benar Pak Aiman, mantan guruku saat SMA dulu.

"Kok bisa di sini, Pak?"

Lama tak bertemu, Pak Aiman tidak banyak berubah. Hanya wajahnya yang tampak lebih tua, dengan kerutan di ujung mata yang semakin terlihat. Bahkan saat muda pun, kerutan itu sudah ada di sana tapi hanya terlihat saat dia tersenyum.

"Aku Cindy, murid Bapak dulu di SMA Mentari." Aku mengingatkannya.

Wajah bingung Pak Aiman berubah setelah aku memperkenalkan diri. Aku tidak yakin dia mengingatku. Sudah lebih dari enam tahun sejak aku lulus SMA. Setiap tahun, ada puluhan murid yang diajarnya. Apalagi aku tidak punya prestasi mencolok yang membuatku menonjol saat sekolah dulu, jadi mustahil jika beliau mengingatku.

"Cindy, hai. Kamu kuliah di sini?"

Aku mengangguk. "Lagi lanjutin S2. Pak Aiman sama siapa?"

"Anak saya, Radit. Dia mulai masuk kuliah summer ini."

Mataku terbelalak. "Radit? Ya ampun, yang aku ingat dia masih SD. Dia yang dulu suka Bapak bawa ke sekolah, kan?"

Pak Aiman tertawa, membuat kerutan di keningnya semakin jelas.

"Dia kuliah di mana?"

"NYU," sahutnya.

"Aku juga," sambarku. Setelahnya aku menyesal, karena terlalu bersemangat untuk sesuatu yang tidak seharusnya.

"Baguslah. Saya bisa minta tolong kamu buat bantu Radit beradaptasi di sini."

Aku mengacungkan ibu jari di hadapannya. "Aman, Pak Aiman tenang aja. Terus, Radit mana?"

"Di dorm. Dia tinggal di lingkungan kampus, pindah hari ini."

Aku mengangguk tanda mengerti. "Masih lama di sini, Pak?"

"Sampai lusa. Saya enggak bisa cuti lama-lama."

Artinya masih ada dua hari lagi. Entah apa yang kurasakan, aku sendiri juga tidak mengerti mengapa aku bersemangat saat bertemu beliau.

"Radit pasti sibuk sama teman barunya. Aku bisa nemenin Pak Aiman jalan-jalan di New York," tawarku.

Pak Aiman sontak tertawa sambil mengusap lehernya. Tawanya terdengar renyah, persis seperti yang ada di ingatanku.

"Kamu enggak sibuk?"

Aku menatap buku yang kubawa. Ada banyak tugas yang harus diselesaikan, tapi aku keberatan jika tidak menghabiskan waktu bersama Pak Aiman.

"Enggak juga. Aku tahu banyak gedung bersejarah, jadi bisa temenin Bapak jalan-jalan. Pak Aiman pasti suka, secara guru sejarah, kan?"

Tawanya makin keras, membuatku tersipu-sipu. "Jadi, kamu mau membawa saya ke mana, Cindy?"

Woman's NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang