Papaku, Kekasihku 1

126K 1K 2
                                    

Aku sedang menonton TV sambil memangku semangkuk penuh popcorn, ketika Papa menempati sofa di sampingku.

"Mama nelepon, nanyain kamu mau ngambek sampai kapan?"

Aku mengabaikan pertanyaan Papa dan sengaja fokus menonton film. Padahal enggak ada yang masuk ke otakku.

"Shayna..." Papa memanggil namaku dengan pelan dan mendesak.

Aku mendesah. "Mama mau menikah lagi sama Om Adji." Aku mengadu di depan Papa. "Makanya aku malas di rumah. Aku enggak suka Om Adji. Matanya jelalatan."

Papa mendengarkan keluhanku.

"Kamu selalu begini setiap kali mamamu mau menikah lagi," ujar Papa akhirnya.

Sekali lagi, aku mendesah. "Aku enggak ngerti sama Mama. Gampang banget nikah, terus cerai. Sejak cerai sama Papa, Mama udah nikah dua kali. Cerai semua, kan?"

"Mamamu cuma mencari kebahagiannya."

Aku mendecakkan lidah. "Mama enggak pikir panjang. Selain Papa, suaminya enggak ada yang oke."

Papa tergelak. "Kamu enggak berharap Papa balikan sama Mama, kan?"

Aku mengurungkan niat untuk menyuap popcorn. Alih-alih aku menatap Papa. Dulu, waktu Mama baru bercerai dari Papa, aku sempat berharap mereka rujuk. Belakangan enggak lagi. Tepatnya setelah aku berkenalan dengan pacar atau suami Mama setelah Papa. Semuanya di bawah Papa. Aku enggak paham selera Mama, kenapa bercerai dari Papa lalu menikah lagi dengan pria yang jauh berada di bawah Papa?

Om Diaz, mantan suami Mama, juga Om Adji, calon suami Mama, enggak ada yang seganteng Papa. Mereka juga enggak sekaya Papa. Yang penting, mereka enggak sebaik Papa. Om Diaz cuek, sementara Om Adji mata keranjang.

Mama bercerai dari Papa enam tahun lalu. Waktu itu aku berumur 12 tahun. Aku sayang Papa, jadi enggak bisa menerima perceraian itu. Untungnya Papa tetap di Jakarta, dan rumah Papa selalu terbuka untukku. Aku suka berada di rumahnya, karena rumah Papa ada kolam.

Padahal, yang orang tua kandungku adalah Mama.

Papa Kemal suami kedua Mama. Mereka menikah waktu aku berumur lima tahun. Ayah kandungku masih hidup, tapi enggak peduli padaku. Aku juga enggak peduli, karena Papa memberikan kasih sayang seorang ayah yang kubutuhkan. Makanya aku patah hati banget waktu mereka bercerai.

Aku dan Papa enggak punya hubungan darah, tapi aku sayang banget sama Papa. Dia begitu memanjakanku, apa pun yang kuminta selalu dituruti. Papa juga cool, dia dengerin semua ceritaku dan enggak pernah marah.

Berbeda dengan Mama, Papa enggak pernah menikah lagi. Aku enggak tahu alasannya. Padahal, aku yakin pasti banyak yang naksir Papa.

Papa berusia 45 tahun. Sudah kubilang, kan, kalau Papa ganteng? Papa mempunyai raut wajah tegas yang membuatnya terlihat berwibawa. Kalau tersenyum, ada kerutan di sudut matanya. Papa punya tubuh tegap dan berotot karena suka ngegym. Meski sudah tua, Papa masih fit.

Papa punya perkebunan teh di Sukabumi, usaha milik keluarganya. Papa juga punya pabrik pengolahan teh dan hasil perkebunan juga diekspor. Papa sering mengajakku ke perkebunan, dan aku pengin kuliah di bidang pertanian biar nanti bisa membantu Papa di sana.

"Papa udah ngomong sama Mama. Kamu bisa tinggal di sini sampai libur selesai. Begitu sekolah dimulai, kamu pulang. Kejauhan kalau kamu berangkat sekolah dari sini," ujar Papa.

Aku meletakkan mangkuk popcorn di meja, lalu memeluk Papa. "Makasih, Papa."

Papa terkekeh. "Papa bakal sering ke Sukabumi. Jangan rewel kalau ditinggal."

Mama pernah bilang kalau salah satu faktor penyebab perceraiannya karena Papa super sibuk.

Aku mendongak untuk menatap Papa. "Aku boleh ikut?"

Woman's NeedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang