Ada yang menggelitik sehingga aku terbangun. Mataku langsung terbeliak saat melihat Papa tengah mengulum putingku. Ternyata ini sumber rasa geli itu.
"Pagi, anak Papa yang cantik." Papa mengangkat wajahnya dan menciumku.
Lewat sudut mata, aku melirik jam. "Papa enggak kerja?"
"Papa kerja dari rumah hari ini," sahutnya.
Senyumku terkembang. "Kenapa?" Jantungku berdebar kencang. Enggak biasa-biasanya Papa bekerja dari rumah. Papa super sibuk. Kalau enggak di kantor, ya di perkebunan. Aku merasa jadi sosok istimewa saat tahu Papa rela bekerja dari rumah hari ini.
"Biar bisa bareng kamu."
Rasanya hatiku nyaris meleleh saat melihat senyum Papa. Aku mengalungkan lengan di lehernya, lalu Papa mengangkat tubuhku hingga aku berbaring di atasnya. Wajahnya berada tepat di depan payudaraku.
"Papa suka susuku?" Tanyaku. Dibanding teman-teman, aku punya payudara besar. Selama ini aku merasa kurang nyaman, tapi dari cara Papa menatapku, aku merasa sempurna.
"Tentu. Susumu cantik banget." Papa kembali mengulum putingku. Dia memberikan gigitan ringan yang membuatku menjerit. "Papa sudah lama perhatiin kamu. Tiap lihat kamu pakai tank top, kontol Papa langsung mengeras."
Aku tertawa. "Sekarang?"
Papa mendecakkan lidah. "Enggak usah ditanya."
Ingatanku kembali ke saat aku mengintip Papa sedang masturbasi. Waktu itu aku enggak melihat dengan jelas. Namun aku yakin Papa punya penis besar. Aku jadi iri sama Mama karena pernah digenjot oleh penis besar Papa.
"Aku mau lihat kontol Papa," pintaku.
Papa mendorong tubuhku hingga aku berbaring. Kini, giliran Papa yang menindihku. Papa punya tubuh besar, tapi aku sama sekali enggak kesakitan waktu Papa menindihku.
"Nanti, Sayang. Sekarang giliranmu."
Aku bertanya-tanya apa maksud Papa. Tak lama, Papa menurunkan tubuhnya. Papa merenggangkan kakiku hingga dia bisa menempatkan tubuhnya di antara kedua kakiku.
Oh, this is so hot.
Papa membuka celana tidurku, meninggalkanku dalam celana dalam putih yang sama sekali enggak seksi.
"Pa, beliin aku underwear yang seksi, ya," pintaku.
Papa tertawa. "Buat apa?"
"Biar Papa terangsang. Celana dalamku jelek, Papa pasti enggak suka," sahutku.
Papa semakin meregangkan kakiku, lalu menarik turun celana dalamku. Vaginaku berada di depan wajah Papa. Rasanya begitu intim. Papa tidak melakukan apa-apa, hanya memandangiku, tapi tubuhku sudah bereaksi.
"Yang paling penting ini, bukan celana dalammu." Papa menyentuh klitorisku.
Aku baru delapan belas. Aku enggak begitu mengenal perawatan tubuh. Aku hanya mencukur bulu pubisku apa adanya, dan sekarang aku merasa malu berada di hadapan Papa dalam keadaan seperti ini.
Papa begitu seksi dan menggairahkan. Sementara aku?
"Kenapa, Shay?"
"Aku jelek ya, Pa?" Aku balas bertanya.
Papa menggeleng. "Ini..." Papa kembali menyentuh klitorisku. "Dan ini..." Papa mengusap bulu pubisku. "Dan ini..." Sentuhannya beranjak ke lipatan vaginaku. "Bikin Papa terangsang. Papa sudah enggak sabar pengin masukin kontol Papa ke dalam."
Ucapan Papa yang blak-blakan membuatku merasa panas.
"Kita pelan-pelan saja. Biar kamu nyaman. Sekarang, kamu cukup nikmatin lidah dan jari-jari Papa aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Woman's Need
Roman d'amourKumpulan cerita pendek Only for 21+++ Disclaimer: adult romance, mature, sex scene