Harusnya aku tidak mengiyakan taruhan itu. Karena sekarang aku malah seperti seorang pecundang di tengah restoran karena pria yang seharusnya menjadi pasangan kencanku tidak datang.
Semua karena taruhan yang dibuat teman-teman satu timku di kantor. Seharusnya aku tahu, ide yang muncul dari otak yang dipengaruhi alkohol adalah salah.
Kencan dengan orang pertama yang match di Tinder adalah sebuah ide buruk.
Well, ada sedikit salahku juga. Karena kalau boleh jujur, siapa juga yang enggak tertarik dengan pria yang dari fotonya saja bisa bikin kewanitaanku berkedut? Namun, setelah dipikir-pikir, enggak seharusnya aku langsung percaya pada laki-laki Tinder.
Shit, bagaimana kalau aku korban catfishing?
Dengan jantung berdebar, aku memandang berkeliling. Bagaimana kalau di salah satu meja ada laki-laki creepy yang sejak tadi memperhatikanku? Mengapa aku begitu bodoh? Sudah banyak cerita mengerikan tentang korban catfishing di internet. Jangan sampai aku malah menambah statistik.
Rasa panik membuatku langsung ingin angkat kaki. Lebih baik keluar dari restoran ini sebagai pecundang dan menghadapi ledekan teman-temanku ketimbang jadi korban kejahatan internet.
"Kamu Gadis?"
Aku mendadak berhenti membereskan tas dan menoleh ke sumber suara. Pandanganku tertumbuk ke dada bidang yang berada di balik jas hitam. Aku mengangkat wajah dan bertubrukan dengan tubuh fit yang begitu kekar. Perlahan, aku terus mengangkat tatapan dan berakhir di sebuah wajah asing.
Wajah asing yang membuatku berhenti bernapas.
Holy shit, is he for real?
"Gadis?"
Aku tergagap. Ketahuan bahwa sejak tadi aku memelototi wajahnya. Perlahan, aku mengangguk.
Dia mengambil tempat di kursi di hadapanku. Mataku mengikutinya. Dia bukan pasangan Tinder-ku, tapi aku enggak keberatan melanjutkan kencan buta ini dengannya.
Tak peduli apakah dia menyadarinya, aku meneliti sosoknya.
Wajah? Checked. Aku menaksir usianya di pertengahan empat puluhan. Wajah tegas dengan sorot mata tajam, rahang tajam yang seperti dipahat langsung oleh tangan Tuhan, tulang pipi tinggi, alis tebal, serta bibir penuh yang dengan sangat yakin aku masukkan ke dalam kategori seksi.
Fashion style? Without a doubt, checked! Sebagai fashion stylish, aku menaruh perhatian pada selera berpakaian. Jas hitam dan kemeja biru tua mungkin terlihat membosankan, tapi di sisi lain bisa menonjolkan personality. Aku yakin pakaiannya custom-fitted.
Sebab, pakaian itu memeluk tubuhnya dengan pas. Siapa pun yang pernah menyentuh pundak kekar dan dada bidang berotot itu sangat beruntung.
Dia berdeham, membuatku berhenti menelanjanginya dengan mataku.
"Saya Wira."
Wira. Aku mengulang nama itu berkali-kali, berharap mengingat pernah mendengar nama itu tapi otakku blank.
"Kamu mau bertemu Christian?"
Kalau nama itu aku kenal. Dia Tinder date yang membuatku luntang lantung di sini.
"Sebelumnya saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau anak saya membuat akun palsu di Tinder. Anak-anak muda kurang kerjaan." Darahku mendidih mendengar penjelasannya. "Mereka yang set janji, tapi semuanya pada mundur. Enggak ada yang mau datang. Saya enggak sengaja dengar, tapi teguran saya dianggap angin lalu."
Wajahku memerah. Besok aku harus membuat peringatan dengan teman-temanku.
"Saya datang ke sini untuk meminta maaf. Kamu sudah meluangkan waktu ke sini dan ternyata ini hanya ulah iseng anak SMA."
KAMU SEDANG MEMBACA
Woman's Need
RomantizmKumpulan cerita pendek Only for 21+++ Disclaimer: adult romance, mature, sex scene