Sesuai janjinya, Lily mengantar Jay ke ruang rawat Vio setelah menghabiskan roti dan susu yang disediakan. Berjalan perlahan dengan Lily yang dengan setia memegangi lengannya berjaga-jaga jika Jay ambruk.
Pintu kamar Vio dibuka oleh Lily. Kemudian keduanya masuk. Sepi, itulah suasana kamar itu sekarang. Tak ada siapapun yang menemani Vio disana. Entah dimana keberadaan sang Mama yang terakhir Lily lihat masih di kamar Vio.
Jay berdiri disamping brankar Vio. Menatap lekat kakaknya yang masih memejamkan matanya itu. Perasaan bersalah menyelimutinya. Seandainya saja kakaknya itu tak terlibat, semua ini pastinya tak akan terjadi.
Ceklek
Suara pintu yang terbuka membuat Jay dan Lily menoleh ke sumber suara. Terlihat Kara yang masuk dengan satu kantong plastik berisi camilan ditangannya.
"Tante dari mana?"
"Dari kantin, beli camilan buat kamu." Kara menaruhnya di meja sebelah sofa.
"Aduhh, nggak usah repot-repot tante. Lily jadi nggak enak."
"Kamu itu kayak sama siapa aja."
Lily tersenyum canggung. Mengingat dirinya dan Vio sudah tak memiliki hubungan. Tapi, Mamanya Vio itu berperilaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Apakah ia tak memberi tahu Mamanya? Pikirnya.
Kara mendekat ke brankar Vio. Merapikan selimutnya kemudian mengusap surai anak sulungnya itu. Tangannya menarik kursi yang tak jauh darinya, kemudian duduk. Mengabaikan Jay yang sedari tadi berdiri disampingnya.
"Mama, maaf." tak ada jawaban dari sang Mama membuat Jay semakin merasa bersalah.
Tiba-tiba pandangannya berkunang. Napasnya juga menjadi pendek. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Reflek, Jay menyangga tubuhnya dengan berpegangan pada brankar Vio.
Lily yang melihat itu langsung saja menghampiri. Memapah Jay ke sofa panjang yang ada disudut ruangan.
"Tiduran aja Jay biar nggak pusing." Lily membantu Jay merebahkan tubuhnya di sofa. Mengusap-usap rambutnya agar Jay segera terlelap.
Kara yang ada disana hanya melirik. Tak ada niatan untuk mendekat sama sekali. Sebagai seorang ibu, tentunya ia khawatir. Namun kali ini, egonya lebih besar.
_______________
Malam telah tiba. Vio masih belum sadar juga. Di sofa, Jay juga tengah terlelap. Lily memutuskan untuk pulang. Ia tak membawa apa-apa saat kesini tadi. Terlalu panik dengan Vio yang bersimbah darah. Bahkan melupakan ponselnya yang hilang entah kemana.
"Tante, Lily pamit pulang dulu ya. Sudah malam, besok pagi Lily kesini lagi." pamitnya serta mencium tangan Kara.
"Iya sayang, makasih ya udah nemenin Vio." kata Kara sambil mengelus surai panjang Lily. Lily yang diperlakukan seperti itu pun tersenyum.
"Kamu pulang naik apa? Biar Mama bangunin Jay buat nganter kamu pulang."
Kara yang hendak beranjak kearah Jay pun dihentikan oleh Lily. "Udah nggak usah tante. Lily bisa naik taksi kok. Kasian Jay, biarin tidur aja."
"Yaudah kamu hati-hati ya." Lily mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu beranjak keluar dari ruangan tersebut.
Tak berselang lama, Angga datang dengan jas yang masih melekat pada tubuhnya serta tas jinjing yang biasa dibawa, menandakan bahwa ia baru saja pulang kerja.
"Masih belum sadar?" Kara menggeleng menjawab pertanyaan suaminya.
Pandangan Angga tertuju pada Jay yang tidur di sofa. Amarahnya kembali memuncak mengingat bungsunya itu selalu membangkang.

KAMU SEDANG MEMBACA
ANANTARA ✔
Romance~|| Percayalah, orang yang menunggumu dengan sabar adalah orang yang rasa cintanya teramat besar padamu ||~ Jayden Anggara. Terjebak dalam ikatan bernama friendzone memang menyakitkan. Tapi, menyukai gadis yang sama dengan sang Kakak lebih menyakitk...