[22] Marah lagi

42 2 1
                                    

Vio mengembangkan senyumnya saat keluar dari mobil yang ditumpanginya, menatap rindu rumah yang 2 hari ini tak ia masuki. Ya, sore ini Vio sudah diperbolehkan pulang namun masih harus membatasi geraknya. Setidaknya sampai luka diperutnya benar-benar kering.

Vio melangkah masuk dengan sang Mama dan Lily yang mengikuti di belakang. Juga ada Jay yang membantu pak Eko membawa keperluan Vio selama dirumah sakit.

"Pelan-pelan." Kara membantu Vio untuk duduk di sofa depan televisi. Vio mencari posisi yang nyaman kemudian tak lupa mengucapkan terimakasih pada sang Mama.

"Lily duduk dulu ya, Tante buatin minum dulu."

"Eh nggak usah tante. Lily mau pamit pulang, Papa Mama udah nyariin soalnya." tolaknya dengan halus. Hanya alasan klasik yang dapat ia katakan demi bisa cepat-cepat terbebas dari situasi ini.

Bukannya tak berterimakasih karena Vio ikut ambil bagian untuk menyelamatkannya, namun ia juga sadar diri dengan posisinya saat ini. Ingat bukan? Lily bukan lagi pacar Vio, dan situasi saat ini sangat canggung baginya.

Memang, Vio tak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan Vio bersikap biasa saja seolah tak terjadi apapun. Luka dihati Lily belum sepenuhnya sembuh. Saat Vio memperhatikannya, ia teringat bagaimana mesranya cewek lain menggandeng tangan Vio.

"Lily pulang dulu ya tan." pamitnya dengan mencium tangan Kara.

"Beneran mau langsung pulang?" Lily mengangguk sambil menyunggingkan senyumnya. "Cepat sembuh kak Vi."

"Mau ku anter ke depan Ly?" ucap Jay yang sedari tadi tak mengeluarkan suara.

Lily menggeleng. "Nggak usah, aku sendiri aja. Mari tante."

Lily berlalu dari sana meninggalkan Vio dan Kara berdua. "Mau sampe kapan kamu kaya gini kak?"

"Secepatnya Ma, tunggu sebentar lagi."

Dering dari telepon Jay memecah keheningan yang sempat terjadi untuk beberapa saat. Nama Hesa terpampang dilayar ponselnya. Ia menggeser ikon telepon berwarna hijau kemudian mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya.

"Kenapa Sa?"

_______________

Disinilah Jay sekarang, panti asuhan. Tadi Hesa memberitahunya bahwa panti kembali di obrak-abrik oleh seseorang. Hesa juga menghubungi Shaka dan Jeje agar segera menyusul dan membantu menenangkan keadaan.

Jay baru saja sampai di halaman panti. Keadaan sangat kacau. Terlihat anak-anak panti yang ketakutan dipelukan Bunda Nawang juga Ira, dan Hesa yang kewalahan menghentikan si perusuh karena kalah jumlah.

Jay memarkir motornya dengan sembarang dan segera membantu Hesa menghentikan mereka yang sibuk mengacaukan panti. Hingga tak lama, Shaka dan Jeje pun datang membantu.

"Stop Om! kita bisa bicarain ini baik-baik!" kata Jay.

"Anak kecil memangnya tau apa hah?" jawabnya dengan suara yang besar.

"Kalau Om nggak bilang masalahnya apa, kita juga gak bisa bantu buat nyelesaiin ini semua. Dan perbuatan Om ini juga gak berfaedah dan cuma ngerugiin satu pihak!" sahut Shaka.

"Mereka harus segera angkat kaki dari sini!" pria berbadan besar itu menyodorkan sebuah sertifikat tanah kepada Jay. "Lihat! Sertifikat tanah sudah ada di tangan saya. Ini konsekuensinya."

Jay terkejut melihat apa yang di sodorkan oleh pria itu. Jay menatap penuh tanya kearah Bunda Nawang dan mendekatinya.

"Ada apa ini sebenarnya Bunda?" airmatanya kembali turun saat Jay menanyakan hal tersebut. Beliau meminta Ira untuk membawa anak-anak panti masuk kedalam.

ANANTARA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang